Sawah Abadi Diajukan Tahun Depan

Dinas Tanaman Pangan, Hortikulturan dan Perkebunan (Distanhorbun) Kabupaten Bogor, menargetkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) atau sawah abadi diajukan awal tahun 2019.

Kepala Distanhorbun Kabupaten Bogor Siti Nuriyanti mengatakan, draf materi raperda belum rampung, sehingga batal disampaikan pada 2018. Dia memilih mematangkannya lebih dahulu di tataran eksekutif, karena lahan pertanian akan selalu berbenturan dengan kebutuhan hunian.

"Kita matangkan dulu di eksekutif. Insha Allah tahun depan kita sampaikan ke dewan. Sudah terdaftar kok di prolegda," kata Siti kepada wartawan, Jumat (28/12/2018).

Menurutnya, salah satu poin yang ingin dimatangkan yakni soal hasil produksi dari 37 ribu hektare lahan pertanian yang akan masuk Perda LP2B. Kajian, kata dia, melibatkan akademisi maupun uji petik mengenai kebutuhan beras tahunan di Kabupaten Bogor.

"Karena jumlah penduduk terus meningkat, maka kebutuhan beras pun semakin tinggi. Sementara produksi tahunan sekitar 500 ribu ton hanya mampu memenuhi 60% kebutuhan," kata dia.

Dalam perda itu, kata dia, juga mengatur tentang sistem irigasi, tergantung pada karakter lahan pertanian tersebut. "Kalau yang tada hujan, maka perlu embung penampung air, jadi saat kemarau produksi tidak terganggu," ujarnya.

Dengan rata-rata dua kali panen dalam satu tahun, produksi beras di Kabupaten Bogor berkisar 500-550 ribu ton, dari luas areal sawah yang ditanami padi dan akan dilindungi Perda LP2B yang ditarget rampung tahun ini.

Produksi sebanyak itu, tidak membuat Kabupaten Bogor mampu memenuhi kebutuhan berasnya sendiri. Hanya 60% kebutuhan 5,7 juta penduduk yang mampu dipenuhi oleh beras lokal. Sisanya, pemkab mendatangkannya dari Cianjur, Karawang dan sekitarnya.

"Kita akan sinergikan terus dengan IPB supaya pertanian kita meningkat. Akan menarik jika sawah abadi disandingkan dengan smart farming-nya IPB," lanjut Siti.

Nuriyanti memastikan Perda LP2B saat ini masih dalam kajian. Sudah lewat dari waktu yang ditarget pada April 2018. Namun, di optimis perda itu rampung dan tahun depan bisa diimplementasikan.

Persoalan lain kemudian muncul, akibat kebutuhan hunian juga cukup tinggi. Siti Nuriyanti berpegang teguh pada Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor bahwa alih fungsi lahan pertanian maksimal 50% dari luasan.

"Tapi dengan catatan ada rekomendasi dari dinas pertanian. Jadi kita yang merekomendasi mana yang boleh dipakai mana yang tidak. Bukan alih fungsi sebenarnya, tapi digunakan," kata dia.

Distanhorbun mengklasifikasikan pada dua jenis areal sawah atau lahan pertanian. Yakni sawah yang betul ditanami padi dan yang tidak ditanami padi. Dia menegaskan, lahan yang memiliki produktifitas tinggi, tidak akan digunakan untuk pembangunan.

"Tapi kalau lahan yang unsur haranya kering dan lainnya, mungkin kita akan kasih 10-25%. Kan maksimal 50% di Perda RTRW. Dengan luasan yang ada belum semua kebutuhan terpenuhi," ungkapnya.

Hasil pemetaan Badan Informasi Geospasial (BIG), Kabupaten Bogor memiliki luas lahan pertanian 37 ribu hektare, baik sawah dan perkebunan. Luasan itu pun, rencananya akan dilindungi lewat peraturan daerah (perda) oleh Pemkab Bogor pada tahun ini.

Dari total luas tersebut, sebagian besar di antaranya terdapat di Kecamatan Jonggol, Cariu, Tanjungsari dan Sukamakmur. Namun, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di empat kecamatan itu cenderung rendah dibanding wilayah yang mengandalkan industri sebagai roda perekonomiannya, seperti Gunungputri.

Pemkab Bogor pun ditantang untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada sektor pertanian. Jika tidak segera didukung oleh aturan dan pembangunan yang nyata, maka sektor ini akan terus ditinggalkan, karena menjual lahan untuk dijadikan industri lebih menguntungkan.

"Dalam mekanisme pasar, kompetisi penggunaan lahan selalu dimenangkan oleh aktifitas dengan produktifitas lahan yang lebih tinggi. Nah, dalam hal ini industri memiliki produktifitas lahan yang lebih tinggi," kata Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) Ernan Rustiadi.

Menurutnya, sangat logis bagi rumah tangga pedesaan jika melihat usaha ekonomi, yang menawarkan pendapatan lebih tinggi memilih usaha yang menguntungkan. Keuntungan industri per hektare per tahun pun lebih tinggi dibanding pertanian.

"Itu Sebabnya lahan pertanian banyak dikonversi menjadi industri atau perumahan. Biasanya, situasi ini tidak diperoleh daerah yang jauh dari kota besar dan proses urbanisasi, sehingga penduduk tidak punya banyak pilihan," ujarnya.

Sumber : Inilahkoran.com
#BogorChannel

0 Komentar