Kecamatan Jonggol Dijual Ke Cina, Hati - Hati Tipu Menipu Kerjasama
![]() |
Sumber Foto : Republika |
Tidak heran semenjak pemerintah era sekarang, hampir 70 persen bisnis infrastruktur lari ke negara Tiongkok. Saat ini Pemerintah Indonesia sudah mulai akan menawarkan 28 proyek senilai USD 91,1 miliar atau setara dengan Rp1.295,8 triliun kepada pemerintah Tiongkok saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) berlangsung, kedua The Belt and Road Initiative atau Jalur Sutra pada April mendatang.
Kerjasama dalam hal infrastuktur contoh di Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor menjadi satu dari sekian puluh proyek yang akan “dijual” sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) Indonesia dan China.
Selaku Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengatakan ada empat wilayah strategis yang akan diprioritaskan dalam program The Belt and Road Initiative, yakni provinsi Kalimantan Utara, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Bali.
Keempat wilayah tersebut dipilih berdasarkan dari hasil pertimbangan geografis yang dinilai memiliki keunggulan juga keunikan dan diyakini bisa menjadi daya tarik para investor Tiongkok. “Penentuan wilayah ini sejalan dengan misi pemerintah dalam membangun mulai dari pinggiran,” ungkap Lembong.
Dari ke 28 proyek yang ditawarkan tidak semuanya berada di empat wilayah tersebut. Karena Pemerintah akan menyiapkan delapan proyek lain yang berada di wilayah berbeda.
Seperti kawasan ekonomi khusus Indonesia dan China di Jonggol, Jawa Barat, Coal Fired Power Plant (CFPP) berkapasitas 2×350 Mw di Celukan Bawang, Bali, Pembangkit listrik skala menengah di berbagai lokasi di Pulau Jawa. Mine mouth Coal Fired Power Plant (CFPP) Kalselteng 3 berkapasitas 2×100 Mw dan Kalselteng 4 yang berkapasitas 2×100 Mw, di Kalimantan Tengah. Dan kerjasama dengan Internasional Meikarta Indonesia Cina.
Termasuk dalam proyek strategis, BKPM saat ini belum menjelaskan lengkap mengenai puluhan proyek tersebut. Begitu juga dengan rencana KEK Indonesia China yang ada di Jonggol.
Di tenpat yang terpisah Bupati Bogor, Ade Yasin justru mengaku belum mengetahui adanya informasi mengenai hal tersebut.
Tahapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor juga tidak ada rencana pembangunan kawasan ekonomi khusus di daerah Jonggol.
“Saat ini saya belum tahu mengenai adanya kerjasama KEK Indonesia China di Jonggol. Makanya secara detil saya belum tahu,” jelas Ade.
Hal yang sama juga diutarakan Kabid Perencanaan Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah, Badan Pembangunan Daerah dan Penelitian Pembangunan (Bappeda Litbang) Kabupaten Bogor, Ajat Rohmat Jatnika.
Dia mengakui tidak mengetahui secara teknis mengenai proyek KEK Indonesia China di Jonggol. Menurutnya program tersebut langsung dari pemerintah pusat, sehingga, tidak melibatkan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Bogor. “Itu programnya punya pemerintah pusat,” ungkap Rohmat.
Perlu diketahui, kawasan ekonomi khusus (KEK) atau Special Economic Zone (SEZ) adalah wilayah geografis yang memiliki peraturan ekonomi khusus yang lebih liberal dari peraturan ekonomi yang berlaku di dalam suatu negara.
Proyek KEK secara geografis dan jurisdiktif merupakan satu kawasan perdagangan bebas, termasuk dengan adanya kemudahan dan fasilitas duty free atas impor barang - barang modal untuk bahan baku komoditas sebagian ekspor, dan sudah mulai dibuka secara luas.
Sampai tahun ini, berdasarkan data dari Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus terdapat 12 KEK di Indonesia. Dimana baru tujuh kawasan ekonomi khusus yang mulai beroperasi. Untuk lima kawasan lagi masih dalam tahap pembangunan.
Sedangkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwasannya pihak pemerintah tidak akan mengistemewakan negara Tiongkok kalaupun investasinya masuk ke Indonesia. Mereka harus tetap memenuhi persyaratan selayaknya investor asing seperti negara lainnya.
“Hal utama, setiap investor yang hendak menanamkan modalnya harus membawa teknologi terbaik dari negara asal. Kami tidak akan menerima second class technology atau teknologi kelas dua, kami mau investor membawa teknologi yang ramah lingkungan,” jelas Luhut.
Syarat kedua pihak investor membawa teknologi terbaru ke Indonesia maka secara perlahan investor tersebut harus melakukan transfer knowledge atau berbagi pengetahuan serta teknologi kepada pekerja lokal atau Indonesia. “Ketiga, investasi tersebut harus mempekerjakan pegawai asal Indonesia sebanyak mungkin,” jelas Luhut.
Keempat, sebagai calon investor harus membangun industri yang bisa memberikan nilai tambah kepada produk asli Indonesia. Dia menjelaskan karena skema kerja samanya adalah B2B maka kedua belah pihak harus saling menguntungkan satu sama lain atau win to win.
“B2B harus bisa saling menguntungkan dan jangan ada pemerintah, pemerintah sama sekali tidak terlibat. Sebagai contoh ada yang berinvestasi bahan bangunan, dalam pembuatan rumah murah, dimana harganya lebih rendah dan kualitas lebih bagus dan cepat, kenapa tidak,” ungkanya.
Jelas selama ini, Tiongkok merupakan salah satu negara terbesar yang menjadi investor dan kreditur terbesar bagi Indonesia. Tahun kemarin, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi asal Tiongkok sudah mencapai US$2,4 miliar dan menduduki peringkat ketiga terbesar dari seluruh total investasi asing.
Jenis investasinya sangat beragam mulai dari pembangunan pembangkit listrik sampai fasilitas pemurnian dan pengolahan hasil tambang. Selama masa pemerintahan Joko Widodo, tren pasar memang relatif meningkat. Pada 2014 kemarin, realisasi investasi Tiongkok di Indonesia mencapai US$800 miliar.
Kemudian, pada 2015, melambat menjadi US$628 juta. Pada tahun 2016, investasi Tiongkok kembali melesat menjadi US$2,7 miliar, dan 2017 mencapai US$3,36 miliar.
Sedangkan dari sisi utang, berdasarkan data Bank Indonesia (BI), utang Indonesia ke Tiongkok juga terus meningkat. Data pada 2014, keseluruhan total utang Indonesia ke negeri tirai bambu itu mencapai US$7,87 miliar.
Lalu pada 2015, melesat 73,5 persen menjadi US$ 13,6 miliar. Pada 2016, kembali meningkat menjadi US$15,16 miliar dan naik menjadi US$16,15 miliar pada tahun 2017. Akhir tahun lalu, utang Indonesia ke Tiongkok telah mencapai US$17,31 miliar.
Kepala Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menilai Tiongkok dilirik menjadi mitra potensial pembangunan proyek infrastruktur karena memiliki pendanaan yang besar dan nilai dana yang kapan saja bisa dipinjam dengan syarat tertentu.
Selain itu, negara Tiongkok ingin melakukan ekspansi dalam hal mendukung program Jalan Sutera Modern yang akan memperlancar arus perdagangannya di negara lain.
Namun demikian, Lana menilai keterlibatan negara Tiongkok dalam berbagai proyek infrastruktur di Indonesia harus dipikirkan dengan matang juga dilakukan dengan sangat hati - hati.
Hal ini, karena negara Tiongkok biasanya ikut membawa sumber dayanya yang akan menjadi isu sosial yang sensitif. Lalu, semua itu pun sebenarnya tidak lepas dari keterbatasan kemampuan bahasa.
“Tiongkok jika berinvestasi umumnya akan membawa satu gerbong, termasuk diantaranya tenaga kerja dan segala macam lainnya. Saat ini memang pilihannya terkesan sulit karena mereka yang punya uang,” ungkapnya.
Lana juga mengingatkan, selama periode kepemimpinan mantan Presiden Soeharto, untuk model penerimaan utang adalah dalam bentuk proyek atau barang yang akan dilunasi pemerintah berupa uang. Akibatnya, Indonesia tidak memiliki keleluasaan sama sekali dalam hal penentuannya.
“Ketika kita utang dalam jenis in-kind, kita tidak mampu dalam memiliki keleluasaan karena kita sudah diberikan barang apa adanya dan belum tentu barang tersebut memiliki teknologi jenis terbaru, bisa jadi teknologi usang di negara asalnya yang kemudian di bawa ke sini,” ungkap Lana.
0 Komentar