Angka Perceraian Tertinggi Di Bogor Mencapai 5000an Kasus

Sumber Foto: Radar Bogor

Suatu hubungan yang dilandasi cinta dan sayang tentu bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama. Tentu saja hubungan tersebut tidak hanya sebatas cinta saja, pasti siapapun akan berharap hubungan bisa berakhir dalam sebuah pelaminan. Namun, pada kenyataannya tidak sedikit dari pasangan yang menikah juga memiliki masalah dalam kehidupannya.  

Salah satu contoh faktor yang bisa menjadi pencetus adanya angka perceraian dalam pernikahan yaitu faktor ekonomi yang sangat berpengaruh terhadap keharmonisan hubungan berumah tangga. Jika ekonomi kacau, kemungkinan besar rumah tangga bisa berakhir pada bubar.

Paling tidak, hal itu bisa dibuktikan dengan tingginya angka perceraian yang ada di Kota dan Kabupaten Bogor.

Sampai bulan September 2019, tercatat ada sebanyak 5.110 kasus perceraian. Perinciaanya 3.880 kasus di Kabupaten Bogor dan 1.230 kasus di Kota Bogor. Dari jumlah tersebut mayoritas mengajukan cerai karena alasan ekonomi yang kurang baik.

“Paling banyak masalah ekonomi karena suami tidak mampu menafkahi keluarga. Setelah itu perselisihan suami istri dan adanya orang ketiga,” jelas Panitera Muda Pengadilan Agama Kelas 1A Cibinong, Teti Sunengsih kepada para media di Bogor.

Jika melihat jumlah statistik kasus perceraian yang ditangani Pengadilan Agama Cibinong, perempuan masih mendominasi gugatan cerai kepada suaminya.

Sampai bulan ini saja, jumlah cerai gugat  dari pihak perempuan sudah mencapai angka 3.003 kasus. Sedangkan cerai talak dari pihak laki-laki sebanyak 877 kasus.

Hal ini juga terjadi di Kota Bogor. Dari 1.230 perkara yang masuk, 932 kasus diajukan istri. Sementara 298 kasus diajukan suami. Tren ini ternyata hampir terjadi setiap tahunnya.

Menurut Teti alasan adanya gugatan paling banyak dilakukan istri karena faktor ekonomi tadi. Banyak suami yang tidak mampu menafkahi keluarganya. Akibatnya pun berkepanjangan sampai akhirnya memutuskan cerai. Alasan lainnya juga karena usia pernikahan yang terbilang mudah.

“Jadi memang banyak faktor. Setelah ekonomi merembet kepada usia perkawinan yang masih labil dan kompleks,” jelasnya.

Hal ini yang dialami Rere contoh kasus. Perempuan 32 tahun itu dipulangkan ke orang tuanya di Bogor oleh sang suami sejak tahun 2012. Sebelumnya, pasangan suami istri tersebut hidup di Jakarta.

Saat itu Rere sudah dikaruniai anak pertama laki-laki yang berusia 7 bulan. Namun, suami justru memutuskan keluar dari pekerjaannya di salah satu lembaga pendidikan.

’’Mulai saat itu suami saya hanya mengandalkan kerja freelance. Tidak ada usaha yang giat buat cari pekerjaan tetap. Apalagi, waktu itu hidup di Jakarta yang serba mahal,’’ ujar Rere.

Dia juga menyebutkan, saat itu dirinya meminta uang kepada orang tua untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Belum genap dua tahun menikah dan hidup bersama di rumah kontrakan dengan sang suami, Rere dipulangkan ke rumah orang tuanya. Walau belum resmi berpisah, Rere menjadi orang tua tunggal sejak lima tahun terakhir.

’Saat ini sih saya sudah fix ingin cerai. Tinggal mengurus aja ke pengadilan,’’ ujar dia yang saat ini bekerja sebagai guru SD di salah satu sekolah swasta.

Itu hanya 1 dari ribuan kasus yang terjadi sampai saat ini. Keutuhan rumah tangga memang menjadi salah satu janji pernikahan yang harus dipegang oleh siapa pun, namun setiap pasangan tentu memiliki tujuan dan juga kehendak masing - masing. Dan jika sudah tidak dapat disatukan, maka satu - satunya jalan yaitu perceraian atau perpisahan.


0 Komentar