Pemerintah Kabupaten Bogor kembali jadi sorotan. Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) mengalokasikan anggaran fantastis untuk perjalanan dinas dalam kota selama tahun 2025. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, mencapai Rp9.815.000.000. Anggaran ini sontak menuai tanda tanya publik, apalagi di tengah semangat efisiensi yang digaungkan pemerintah pusat.
Anggaran jumbo tersebut tercatat di laman resmi sirup.lkpp.go.id, yang menampilkan rincian rencana belanja 2025. Berdasarkan data yang tersedia, BKPSDM tercatat sebagai satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dengan alokasi tertinggi untuk belanja perjalanan dinas dalam kota, khususnya untuk paket-paket meeting. Rincian tersebut pun tak pelak menimbulkan sorotan publik yang makin kritis terhadap arah belanja pemerintah daerah.
Dari penelusuran data, terdapat total 28 paket kegiatan dengan label Belanja Perjalanan Dinas Paket Meeting Dalam Kota. Nilai tiap paket bervariasi, dari yang terkecil Rp20.550.000, hingga yang terbesar Rp5.028.134.000. Jika dijumlahkan, total pagu yang direncanakan mencapai Rp19.509.000.000. Angka tersebut melebihi dua kali lipat dari jumlah yang ditampilkan secara spesifik pada salah satu pos anggaran.
Yang menarik, jika dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya, lonjakan anggaran ini sangat signifikan. Pada tahun 2023, kegiatan serupa bahkan tidak tercantum sama sekali alias Rp0, sementara pada 2024, anggaran tercatat hanya Rp2.518.102.000. Kenaikan drastis ini memunculkan pertanyaan: ada kebutuhan apa yang begitu mendesak hingga perlu anggaran sebesar itu untuk rapat dalam kota?
Sebagian besar pengadaan paket tersebut menggunakan metode e-purchasing, sedangkan satu paket lainnya memakai skema pengadaan langsung. Semua biaya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bogor Tahun 2025. Meski mekanisme e-purchasing dianggap transparan, bukan berarti perencanaan anggarannya tidak layak dikritisi, terutama bila dilihat dari urgensi dan prinsip efisiensi.
Yang membuat publik makin heran, anggaran fantastis itu justru diumumkan setelah terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, yang dengan jelas menekankan pentingnya efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD. Pada Butir Empat Inpres tersebut, disebutkan bahwa lembaga pemerintah diminta melakukan pengetatan atas belanja perjalanan dinas dan rapat-rapat sebagai bentuk komitmen penghematan.
Artinya, belanja jumbo yang dilakukan BKPSDM bisa dibilang bertolak belakang dengan semangat efisiensi yang dituntut langsung oleh Presiden. Di tengah kondisi fiskal yang menuntut kehati-hatian, keputusan menganggarkan miliaran rupiah untuk kegiatan bersifat administratif dalam kota jelas patut dipertanyakan. Lebih-lebih jika kegiatan tersebut bisa disederhanakan dengan teknologi digital atau disatukan dalam agenda lain.
Tim media yang mencoba mengkonfirmasi temuan ini kepada pihak BKPSDM tidak mendapatkan banyak jawaban. Saat mendatangi langsung kantor yang berada di kawasan Tegar Beriman, Pemerintah Kabupaten Bogor, Avian, staf bagian umum, menyatakan dirinya tidak berwenang memberikan keterangan. Ia menyarankan agar konfirmasi dilakukan melalui surat resmi yang ditujukan langsung ke pimpinan instansi tersebut.
“Soal itu saya tidak memiliki wewenang untuk menjawabnya. Silahkan bersurat resmi saja,” ujar Avian, Jumat (20/6/2025), dengan nada sopan namun jelas menghindar dari diskusi lebih lanjut. Jawaban ini, meski prosedural, tak lantas meredam rasa penasaran publik yang ingin tahu apa sebenarnya urgensi dari anggaran semegah itu hanya untuk urusan pertemuan dinas lokal.
Transparansi menjadi kata kunci dalam setiap pengelolaan anggaran publik. Saat rakyat menuntut akuntabilitas, sudah sepatutnya setiap rupiah dari APBD dijelaskan manfaat dan dampaknya. Rapat dan pertemuan dinas tentu punya fungsi strategis, tapi ketika anggarannya melambung drastis tanpa penjelasan yang proporsional, wajar bila muncul kecurigaan tentang efektivitasnya.
Belum ada pernyataan resmi dari kepala BKPSDM atau pejabat terkait lainnya mengenai perincian kegiatan dan manfaat dari tiap paket meeting dalam kota tersebut. Jika merujuk pada prinsip anggaran berbasis kinerja, maka logis bila publik menanyakan indikator keberhasilan dari penggunaan dana tersebut, selain hanya dokumen pertanggungjawaban administrasi.
Meningkatnya tren anggaran seperti ini juga bisa menciptakan preseden buruk bagi SKPD lain. Jika tidak ada evaluasi dan kontrol ketat, bisa saja pola belanja seperti ini menjadi kebiasaan baru, yang pada akhirnya justru menyuburkan inefisiensi di tubuh birokrasi. Bukankah esensi reformasi birokrasi adalah menekan pemborosan dan memaksimalkan hasil dari setiap pengeluaran?
Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Bogor selama ini dikenal cukup aktif dalam mempublikasikan kinerja dan program-programnya. Tapi bila anggaran sebesar hampir Rp10 miliar hanya digunakan untuk aktivitas internal tanpa transparansi yang memadai, maka kepercayaan publik bisa terkikis pelan-pelan. Apalagi jika publik tidak melihat hasil nyata dari kegiatan tersebut dalam bentuk layanan publik yang membaik.
Perlu diingat, dalam sistem pemerintahan yang demokratis, setiap bentuk pengeluaran pemerintah adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tugas inspektorat atau auditor. Media, masyarakat sipil, akademisi, hingga warga biasa punya peran penting untuk mengawasi dan mengkritisi agar anggaran tak disalahgunakan atau dipakai secara serampangan.
Dalam konteks itulah, anggaran perjalanan dinas BKPSDM Kabupaten Bogor untuk 2025 layak menjadi pembahasan terbuka. Jika memang kegiatan tersebut dibutuhkan, maka penjelasan terbuka dari pihak terkait menjadi sangat penting. Bila tidak, maka publik akan terus bertanya: apakah ini memang kebutuhan, atau justru kebiasaan?
Kenaikan tajam anggaran perjalanan dinas dalam kota oleh BKPSDM Kabupaten Bogor tahun 2025 patut dikritisi, terutama karena bertentangan dengan semangat efisiensi dari Inpres Nomor 1 Tahun 2025. Tanpa transparansi dan penjelasan mendalam dari pihak terkait, alokasi anggaran sebesar Rp9,8 miliar berpotensi menimbulkan preseden buruk bagi tata kelola anggaran daerah dan bisa menggerus kepercayaan publik terhadap birokrasi daerah.
Referensi: tabloid
0Komentar