TSd7TUO5TfC6BUM8BUr0BSz0
Light Dark
Dinamika Digitalisasi ala Pemkot

Dinamika Digitalisasi ala Pemkot

Daftar Isi
×

Digitalisasi di lingkungan Pemerintah Kota Bogor semakin pesat. Namun, pesatnya laju itu tak selalu linier dengan konsistensi. Banyak proyek berubah arah, seolah tak punya peta jalan jangka panjang. Hari ini ganti aplikasi, besok ganti vendor, lusa berubah kebijakan. Seolah transformasi digital bukan rencana strategis, melainkan keur nyoba-nyoba. Akibatnya, sistem jadi tambal sulam.

Salah satu contoh mencolok adalah aplikasi absensi ASN. Awalnya bernama SiBemo, kini sudah diganti dengan sistem Legasi yang bahkan tak lagi akrab namanya di kalangan pegawai.

“Dulu kami belajar pakai SiBemo, sekarang diminta belajar ulang sistem baru. Tapi belum ada pelatihan resmi,” ujar seorang pegawai dinas di Bogor, yang enggan disebut namanya.

Pernyataan itu mencerminkan kelelahan struktural yang muncul akibat ketidakkonsistenan. Digitalisasi semestinya memudahkan, bukan menambah beban adaptasi berkali-kali tanpa kejelasan.

Aplikasi Berganti, Pegawai Menyesuaikan

Seringkali perubahan sistem dilakukan tanpa transisi memadai. Pegawai dituntut cepat menyesuaikan, meski tidak semua latar belakang kompetensinya digital. Kacida repotna bagi pegawai generasi boomers yang tak punya dasar teknologi memadai.

Belum stabil satu aplikasi, sudah datang surat edaran mengganti yang baru. Data sebelumnya belum tentu sinkron, apalagi sistem dokumentasi sering tidak terintegrasi.

“Kenapa gak satu aplikasi aja, tapi serius?” Pertanyaan itu muncul di banyak grup WhatsApp ASN Kota Bogor. Sebuah keluhan kolektif yang menunjukkan frustrasi organisasi.

Aplikasi yang dibangun dengan APBD mestinya bisa dimaksimalkan jangka panjang. Tapi terlalu sering sistem dibangun untuk “showcase” bukan solusi. Dampaknya? Produktivitas melambat, adaptasi meluas.

Vendor Datang dan Pergi

Proyek-proyek di internal pemerintahan kerap berpindah tangan. Vendor berganti seiring tahun anggaran. Bahkan kadang pergantian tak menunggu proyek selesai. Tiap pergantian membawa bahasa teknis berbeda, struktur berbeda, bahkan pengalaman berbeda.

Ada vendor yang hanya kuat di tahap pertengahan, tapi melempem saat penyelesaian. Proyek-proyek seperti ini tidak boleh jadi ajang uji coba, bukan investasi jangka panjang. Sabaraha kali kudu nyoba?

Masalahnya bukan cuma teknis. Tapi juga pada kelembagaan. Jarang ada satuan pengelola sistem yang serius berfungsi lintas periode dan lintas kepala daerah. Ini termasuk pada proyek digitalisasi.

Mimpi Smart City, dengan Konsistensi

Pemkot Bogor sebenarnya punya mimpi besar jadi kota pintar. Tapi sayangnya, mimpi itu belum diiringi konsistensi dan desain jangka panjang. Smart city bukan soal banyak aplikasi. Tapi soal ecosystem digital yang sinergis, andal, dan mudah diakses. Bukan sekadar banyak dashboard dan tampilan canggih yang kadang hanya gimmick.

Kalau tiap tahun ganti sistem, bagaimana dengan data akumulatifnya? Bagaimana dengan pelacakan kebijakan? Semua jadi terputus dan tacan nyambung antarperiode.

“Smart city itu tidak bisa dibangun instan. Harus ada kontinuitas dan governance yang kuat,” kata Dr. Irwan Suhendar, pakar kebijakan publik dari UI.

Tanpa perencanaan matang, pemkot hanya akan terjebak pada proyek jangka pendek. Dan semua yang jangka pendek selalu berujung pada biaya besar tapi dampak kecil. Proyek digital bukan soal anggaran dan vendor semata. Tapi soal arah kebijakan yang stabil, partisipatif, dan menjawab kebutuhan pengguna di lapangan.

Jika setiap tahun Pemkot hanya berganti sistem tanpa pemeliharaan yang baik, maka kita hanya membangun istana pasir digital. Indah di luar, rapuh di dalam.

Ada baiknya, sebelum membangun sistem baru, evaluasi menyeluruh dilakukan terlebih dahulu. Tong ngadadak nyieun aplikasi ngan saukur hayang katingali canggih. Smart city harus dimulai dari smart governance — bukan dari berubahnya aplikasi.

Jika Kota Bogor ingin sungguh-sungguh menjadi kota cerdas, maka dibutuhkan kebijakan yang konsisten, roadmap yang jelas, dan keberanian untuk menyederhanakan sistem.

Digitalisasi di Pemkot Bogor masih perlu banyak ngarumat, bukan sekadar ngabebenah. Karena kota cerdas bukan lahir dari proyek banyak, tapi dari keberanian membuat sistem yang bertahan lama dan berpihak pada masyarakat. Penulis: Nur Ahmadi

0Komentar

Special Ads
Special Ads