TSd7TUO5TfC6BUM8BUr0BSz0
Light Dark
Kisah Keluarga ASN Bogor yang Terseret Skandal Cinta Kantoran

Kisah Keluarga ASN Bogor yang Terseret Skandal Cinta Kantoran

Daftar Isi
×


Media sosial belakangan ini kembali diramaikan dengan kisah pilu dari balik tembok rumah tangga seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Bogor. Bukan soal prestasi atau inovasi, tetapi tentang kisah perselingkuhan dan luka emosional yang ditinggalkan.

Cerita ini mencuat setelah seorang pengguna akun X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter) dengan nama pengguna @sugarplumpy mencurahkan isi hatinya secara gamblang. Dalam thread panjang yang menyita perhatian netizen, ia menceritakan bagaimana ibunya menjadi korban dari hubungan gelap sang ayah, seorang pengawas SMP di Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, dengan rekan sesama ASN.

Kisah ini bukan hanya soal perselingkuhan. Ini adalah kisah tentang pengkhianatan, kekerasan dalam rumah tangga, dampak psikologis terhadap anak, serta potret buram institusi yang tak selalu sigap menanggapi kasus internal.

Dimulai dari Kecurigaan, Berujung Ketamparan

Dalam unggahan yang kemudian viral itu, sang anak menuliskan bahwa hubungan antara D (sang ayah) dan S (selingkuhannya, yang juga pengawas SD dan berstatus janda) diduga telah dimulai sejak Mei 2024. Namun baru benar-benar terungkap lima bulan kemudian.

“Perselingkuhan mereka dimulai Mei 2024,” tulis @sugarplumpy.

Puncak kecurigaan muncul pada Agustus 2024. Saat itu, sang ayah secara mengejutkan meminta izin untuk poligami. Permintaan yang awalnya terdengar seperti candaan itu ternyata menyimpan realitas pahit.

"Mama gue kira cuma bercanda dan ga curiga," lanjutnya.

Seiring waktu, perubahan sikap D di rumah kian terasa. Menurut @sugarplumpy, sikap ayahnya menjadi dingin dan semakin jarang melibatkan diri dalam aktivitas keluarga. Titik terang terkuak ketika sang ibu menemukan bukti kuat berupa pesan-pesan mesra antara D dan S, pada Oktober 2024.

"Akhirnya ketauan gara-gara mama gue nemu chat mesra mereka di bulan Oktober 2024," ungkapnya.

Kesimpulan dari rangkaian kejadian ini memperlihatkan bahwa keterbukaan dan kejujuran dalam rumah tangga sangat penting, dan kecurigaan kadang bukan tanpa alasan.

Dari Selingkuh ke Kekerasan

Alih-alih meminta maaf atau mencoba menjelaskan, D justru bereaksi dengan kekerasan. Dalam pengakuan yang memilukan, sang anak mengisahkan bahwa ibunya menjadi korban kekerasan fisik pada 3 Oktober 2024, tepat di depan anak-anak mereka.

Tak berhenti di situ, tindakan kekerasan kembali terjadi pada 18 Oktober, kali ini menggunakan raket nyamuk.

"Berantem gara-gara mama ga terima bapa gue selingkuh. Untungnya, adik gue berhasil stop aksi tersebut. Memang ga ada luka, tapi luka mentalnya? Udah permanen buat kita semua," curhat @sugarplumpy.

Pengalaman ini menunjukkan bahwa pengkhianatan emosional bisa dengan cepat menjalar menjadi kekerasan fisik. Perempuan, khususnya istri yang dikhianati, sering kali menjadi korban berlapis—dikhianati, disalahkan, bahkan disakiti.

Usaha Damai Tak Direspons, Malah Diblokir

Salah satu bagian paling menyakitkan dari kisah ini adalah saat sang anak mencoba menghubungi S, selingkuhan ayahnya, dengan cara yang baik. Namun usaha itu dibalas dengan pemblokiran kontak terhadap seluruh keluarga.

"Nomor gue, nomor ibu gue. Nomor semua keluarga, diblok semua sama ibu S. Kita ga bisa kontak dia sama sekali. Tapi mereka? Masih asik mesra-mesraan," tulisnya.

Kondisi ini membuat keluarga merasa semakin tidak berdaya. Di saat mencoba menyelesaikan konflik secara dewasa, justru mendapatkan penolakan dan isolasi dari pihak yang diduga menjadi sumber masalah.

Kesimpulannya, seringkali dalam konflik rumah tangga yang melibatkan orang ketiga, pendekatan damai dari pihak korban justru dibalas dengan penghindaran, memperburuk situasi yang sudah rumit.

Situasi Rumah Kian Panas, Anak Pilih Pergi

Tak kuat menghadapi tekanan mental, drama harian, dan suasana rumah yang penuh ketegangan, sang anak akhirnya mengambil keputusan besar: meninggalkan rumah dan mulai ngekos.

"Gue cape. Cape pura-pura kuat dengan semua berantem dan dramanya. Akhirnya gue mutusin buat keluar dari rumah. Gue ngekos. Biar bisa nafas. Biar ga tiap hari liat bapa gue yg tega ngancurin keluarga dan bertingkah seolah semuanya baik2 aja," katanya dengan penuh emosi.

Keputusan ini menggambarkan bagaimana konflik rumah tangga berdampak besar terhadap anak. Kadang, bukan sekadar luka batin yang dirasakan, tapi juga kebutuhan untuk menjauh demi kesehatan mental.

Kesimpulannya, anak-anak yang tumbuh di tengah konflik orang tua harus diprioritaskan dari sisi kesejahteraan psikologis, bukan dipaksa menjadi penonton drama keluarga.

Ayah Kian Sering Pergi, Alasan “Pelatihan” Jadi Tameng

Sejak awal 2025, intensitas kehadiran D di rumah terus menurun. Ia kerap memberikan alasan “latihan”, “pelatihan”, hingga “persiapan lomba” untuk menjelaskan ketidakhadirannya.

"Awal tahun 2025: Banyak hari libur, tapi bapa gue jarang di rumah dengan alasan latihan, pelatihan, dan persiapan lomba. Gue ga bego. Kita semua juga ngerti, itu alasan doang biar bisa tetep ketemu Ibu S," tulisnya.

Puncaknya terjadi pada 29 Mei 2025, bertepatan dengan Hari Libur Nasional Kenaikan Isa Almasih. D meminta izin untuk mengikuti latihan paduan suara, namun tiba-tiba batal begitu istrinya menawarkan diri untuk ikut.

Kesimpulannya, pola penghindaran dan manipulasi kerap jadi pola klasik dari seseorang yang berselingkuh. Sering kali, kejanggalan terletak bukan pada apa yang dikatakan, tapi pada apa yang coba disembunyikan.

“Kalau Ga Mau Dimadu, Ya Cerai Aja”

Tak hanya berselingkuh dan melakukan kekerasan, D bahkan mulai menunjukkan sikap yang bisa dibilang dingin dan apatis terhadap istrinya. Saat diminta uang untuk kebutuhan rumah tangga, ia malah membalas dengan kalimat menyakitkan.

"Jawaban bapa gue adalah: 'Pake uang sendiri aja, kan mau cerai. Iya, kalau mama ga mau dimadu, ya cerai aja," kutip sang anak.

Sikap seperti ini tak hanya menunjukkan ketidakpedulian, tapi juga bentuk gaslighting yang menyakitkan. Seolah-olah istrinya yang bersalah hanya karena menolak dimadu.

Kesimpulan dari bagian ini cukup tegas: saat rasa empati hilang dalam hubungan, maka ikatan keluarga bisa runtuh dalam waktu singkat.

Pergi Tanpa Kabar, Pulang Bawa Drama Baru

D kemudian meninggalkan rumah selama seminggu tanpa kabar. Saat kembali, bukan untuk memperbaiki keadaan, tapi malah kembali membahas perceraian.

"Kemarin bapa gue sempet pulang sebentar, cuma ngasih duit buat adik gue dan ngomongin cerai lagi ke mama," bebernya.

Alasannya ingin menikah lagi? Karena istri dianggap tidak bisa “melayani” akibat sakit yang sudah diderita selama 4 tahun.

"Mama gue memang sakit udah 4 tahun dan rutin kontrol ke RS. Tapi bukannya ditemenin atau dikasih dukungan, yang ada malah disalahin," ungkap @sugarplumpy.

Kesimpulannya, ketika seseorang menjadikan kelemahan pasangan sebagai alasan untuk berselingkuh, maka yang patut dipertanyakan bukan kondisi fisik sang pasangan, melainkan kualitas moral dari si pelaku.

Sudah Lapor, Tapi Tak Ada Tindakan Tegas

Berharap mendapatkan perlindungan dari institusi tempat sang ayah bekerja, sang anak pun melapor ke atasan D di Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. Namun, respons yang diterima justru terkesan normatif.

"Karena cape dengan udah cape baik-baik, gue udah coba jalur resmi, gue lapor ke atasannya, dan mereka bilang: 'akan kami bina terlebih dahulu di internal'. Kayaknya emang harus lewat sosmed biar dapet atensi," tandasnya.

Pernyataan ini memperlihatkan betapa sulitnya mencari keadilan dalam sistem birokrasi yang lamban. Media sosial, sekali lagi, menjadi kanal darurat masyarakat untuk menyuarakan kebenaran.

Dinas Pendidikan Turun Tangan, Tapi Masih Sebatas Wacana

Ketika kasus ini semakin ramai diperbincangkan, akhirnya Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, Rusliandy, angkat bicara. Ia menyatakan akan segera memanggil pihak-pihak terkait untuk dimintai keterangan.

"Besok, kami panggil yang bersangkutan," kata Rusliandy saat dikonfirmasi pada Senin (9/6/2025) sore.

Meskipun itu langkah awal yang patut diapresiasi, publik tentu berharap lebih dari sekadar pemanggilan. Transparansi proses dan kejelasan sanksi menjadi hal yang ditunggu-tunggu.

Ketika Rumah Tangga Jadi Medan Luka

Kisah yang dibagikan @sugarplumpy bukan hanya soal perselingkuhan ASN di Bogor. Ini adalah potret tentang bagaimana kekuasaan, pengabaian, dan minimnya empati bisa menghancurkan inti terkecil masyarakat: keluarga.

Dari cerita ini, kita belajar bahwa kejujuran, komunikasi, dan tanggung jawab moral dalam pernikahan adalah fondasi penting. Ketika fondasi itu rapuh, yang hancur bukan hanya dua orang, tapi satu generasi.

Jika kasus ini tidak ditindaklanjuti secara serius, maka bukan hanya satu rumah tangga yang terluka, tetapi juga kepercayaan publik terhadap institusi tempat para ASN ini bekerja.

0Komentar