Kecamatan Cibinong kembali jadi saksi hidup atas geliat komunitas yang terus berupaya menjaga akar budayanya. Pada Minggu, 15 Juni 2025, sebuah perhelatan penting digelar di Aula Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Di sana, suasana terlihat akrab tapi serius—warga dan panitia datang untuk melangsungkan salah satu proses krusial menuju terbentuknya kepengurusan baru Ketua Paguyuban Masyarakat Cibinong (PMC).
PMC bukan sekadar organisasi. Ini semacam simpul kultural, ruang bersama yang mempertemukan banyak suara dari masyarakat Cibinong dengan berbagai latar belakang. Di tengah dinamika zaman yang serba digital dan instan, PMC tetap berpegang pada nilai-nilai kearifan lokal—sebuah warisan sosial yang dianggap penting untuk terus dirawat.
Acara pengundian nomor urut calon ketua pun menjadi pintu awal menuju musyawarah besar. “Dalam momentum pengundian nomor urut, saya mewakili dari Panpel dan para calon ketua paguyuban masarakat cibinong (PMC) mengucapkan terima kasih kepada pemerintah kabupaten bogor dalam hal ini kecamatan cibinong yang telah memfasilitasi panitia dalam pengambilan nomor urut peserta,” ujar H. Rizkan, Ketua Panitia Pelaksana (Panpel), saat menyampaikan sambutannya.
Proses Demokratis yang Mengakar
Proses pengundian ini berjalan tertib dan penuh rasa saling menghormati. Setelah pembacaan tata tertib oleh panitia, satu per satu kandidat mengambil nomor undian. Hasilnya sebagai berikut:
-
Adam (Ade Irfan)
-
Agie Widodo
-
Ricard
-
Dian Asmara (Paul)
-
Ruslan
-
Harun
Masing-masing kandidat tampak tenang dan menerima hasil undian dengan lapang dada. Ini bukan sekadar soal angka urut, tapi lebih pada langkah simbolik menuju kompetisi yang sehat dan penuh semangat gotong royong. Tak ada suara gaduh, tak ada saling sindir. Semua memahami bahwa pemilihan ini bukan ajang saling menjatuhkan, tapi mencari pemimpin terbaik untuk melanjutkan estafet perjuangan kultural di Cibinong.
Panitia dan PPK Menjamin Netralitas
Dalam upaya menjaga netralitas, panitia mengundang petugas pemilihan dari luar, yakni PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) sebanyak tiga orang. Langkah ini dianggap penting agar seluruh proses berlangsung adil dan jauh dari konflik kepentingan. Tiap kelurahan mengirimkan lima orang perwakilan, dikalikan 13 kelurahan, yang totalnya mencapai 65 orang sebagai pemilih. Skema ini disusun sedemikian rupa agar tak hanya inklusif, tapi juga representatif.
Para calon ketua pun diminta menunjuk satu orang sebagai saksi masing-masing. Ini bukan hanya prosedur formalitas, tapi bagian dari transparansi proses yang akan terus dikawal sampai hari pemilihan dan debat berlangsung.
Visi dan Misi, Bukan Saling Cacah
Menurut jadwal yang ditetapkan panitia, acara debat antar calon akan menjadi panggung adu gagasan, bukan panggung saling menjatuhkan. Para kandidat diberi waktu masing-masing lima menit untuk menyampaikan visi dan misinya. Setelah itu, peserta lain boleh mengajukan satu pertanyaan ke tiap kandidat.
Kebijakan ini dirancang untuk menjaga marwah forum. Bahwa dalam kontestasi sosial seperti ini, integritas dan ide jauh lebih penting daripada drama dan sensasi. Para kandidat pun telah menyatakan komitmennya untuk menjaga etika selama debat berlangsung.
Sebagaimana ditegaskan panitia, semua pihak diminta fokus pada hal substantif. “Kita ingin setiap calon menunjukkan arah kepemimpinan yang jelas, bukan sekadar janji kosong,” ujar salah satu panitia yang hadir dalam forum musyawarah.
Kearifan Lokal, Visi Besar yang Tak Sekadar Retorika
Yang menarik, sebagian besar kandidat membawa narasi soal penguatan kearifan lokal dan partisipasi kolektif. Mereka sepakat bahwa PMC bukanlah alat politik atau forum eksklusif, tapi wadah milik bersama. Dalam visi mereka, PMC ke depan harus menjadi lembaga yang akuntabel, inklusif, dan mampu merespons dinamika masyarakat dengan cepat.
Misi ini sejatinya sejalan dengan akar lahirnya paguyuban. Di tengah arus urbanisasi dan digitalisasi yang kadang mengikis nilai-nilai komunitas, PMC diharapkan menjadi ruang refleksi dan konsolidasi warga Cibinong. Ini bukan tentang nostalgia semata, tapi tentang melanjutkan tradisi sosial yang bermakna untuk masa depan bersama.
Sebagaimana disampaikan oleh H. Rizkan, “Kedepan kecamatan cibinong akan menjadi mitra dari PMC untuk mengawal kearifan lokal masyarakat cibinong.” Ungkapan ini menggambarkan bahwa proses yang berlangsung bukan hanya urusan internal PMC, tetapi juga melibatkan pemerintah sebagai mitra pembangunan sosial budaya.
Regenerasi dan Dampak Sosial yang Lebih Luas
Pemilihan Ketua PMC tahun ini juga dianggap sebagai tonggak regenerasi. Para calon memiliki latar belakang yang berbeda—dari tokoh masyarakat, aktivis, hingga pelaku usaha lokal. Hal ini membuka peluang baru untuk memperluas jangkauan program PMC ke lebih banyak segmen masyarakat.
Beberapa program yang disebut dalam misi para kandidat antara lain pelatihan budaya, revitalisasi ruang publik, penguatan UMKM berbasis komunitas, dan pengembangan ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal. Semua itu menjadi indikator bahwa PMC kini tak hanya bicara soal identitas budaya, tapi juga kesejahteraan ekonomi dan pendidikan warga.
Apabila gagasan-gagasan ini direalisasikan dengan partisipasi publik yang aktif, PMC bisa menjadi model paguyuban yang tak hanya eksis, tapi juga relevan dengan tantangan zaman. Kolaborasi antara warga, tokoh masyarakat, dan pemerintah menjadi fondasi penting untuk itu semua.
Pemilihan Ketua Paguyuban Masyarakat Cibinong bukan sekadar ritual organisasi tahunan. Ini adalah momen penting untuk menentukan arah baru bagi komunitas yang berakar kuat pada nilai-nilai budaya dan kebersamaan. Dari proses pengundian nomor urut hingga penyusunan agenda debat, semua berlangsung dalam semangat transparansi dan demokrasi lokal yang sehat.
Dukungan dari Kecamatan Cibinong dan partisipasi aktif warga jadi bukti bahwa PMC memiliki tempat khusus di hati masyarakat. Jika seluruh tahapan berjalan konsisten, bukan tidak mungkin PMC akan tampil sebagai kekuatan sosial yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan jati diri.
Di tengah segala dinamika yang ada, satu hal yang tak boleh hilang adalah komitmen untuk menjaga kebersamaan, memperkuat solidaritas, dan menjadikan paguyuban sebagai rumah besar untuk semua warga. Dengan begitu, kearifan lokal bukan hanya dikenang, tapi juga hidup dan terus memberi makna.
0Komentar