Suasana sore di Simpang Mawar, Bogor Barat, sempat dibuat resah oleh kehadiran dua anak punk yang diduga dalam kondisi mabuk. Warga sekitar yang merasa terganggu langsung melaporkan kejadian itu ke pihak kepolisian. Tak butuh waktu lama, Polresta Bogor Kota pun bergerak cepat.
Dua pemuda berpenampilan khas anak jalanan tersebut diamankan pada Senin (28/7/2025). Menurut keterangan resmi dari Kasi Humas Polresta Bogor Kota, Iptu Eko Agus, petugas Dalmas langsung melakukan penyisiran di lokasi. Mereka berhasil menangkap dua orang, sedangkan yang lainnya kabur.
"Anak punk sudah diamankan anggota Dalmas dipimpin KBO. Terdapat dua orang pelaku PU dan AS, sisanya melarikan diri," kata Eko kepada wartawan.
Tanggapan Cepat Polisi Atas Laporan Warga
Kegiatan penertiban ini bukan tanpa alasan. Masyarakat sekitar Jalan Mawar sudah cukup lama merasa tidak nyaman dengan keberadaan kelompok anak punk tersebut. Mereka sering terlihat nongkrong dalam kondisi tidak sadar, bahkan mengganggu pengguna jalan.
Eko menjelaskan bahwa tindakan ini merupakan tindak lanjut dari aduan masyarakat yang mulai resah. Petugas melakukan pendekatan secara humanis, tanpa kekerasan, sebagai bentuk penegakan ketertiban yang tetap mengedepankan nilai kemanusiaan.
"Menindaklanjuti laporan masyarakat terkait keberadaan sekelompok anak punk yang dinilai meresahkan di kawasan Jalan Mawar, jajaran Polresta Bogor Kota segera bergerak cepat, melakukan penertiban dan pendekatan humanis," jelasnya.
"Petugas mendapati sekelompok anak punk yang nongkrong di sekitar kawasan tersebut dan dinilai mengganggu kenyamanan serta ketertiban warga sekitar," imbuhnya.
Penanganan Humanis: Rehabilitasi Jadi Prioritas
Kedua pemuda yang diamankan, yakni PU dan AS, ternyata berada dalam kondisi mabuk saat diamankan. Mereka tidak dibawa ke sel tahanan, melainkan langsung diserahkan ke Dinas Sosial Kota Bogor untuk mendapatkan pembinaan yang lebih layak dan manusiawi.
"Anak punk tersebut dalam keadaan mabuk dan diserahkan ke Dinas Sosial Bidang Rehabilitasi Sosial," ujar Eko.
Langkah ini sejalan dengan pendekatan yang kini banyak diterapkan dalam konteks penanganan anak jalanan atau komunitas marginal. Daripada menghukum, pihak berwenang memilih mengarahkan mereka ke jalur rehabilitasi sosial agar bisa kembali ke jalan yang benar.
Penertiban ini bukan semata untuk meredam kegaduhan, tetapi juga menyasar akar masalah: minimnya edukasi dan perhatian terhadap kelompok anak muda marginal. Pemerintah melalui Dinsos akan mendampingi dan membuka akses pembinaan agar anak-anak seperti PU dan AS tidak kembali ke jalan.
Peran Aktif Warga Jadi Kunci Lingkungan Nyaman
Iptu Eko juga menegaskan bahwa keamanan lingkungan bukan hanya tanggung jawab polisi, tapi menjadi tugas bersama. Partisipasi warga sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan yang nyaman dan aman. Ia mengajak masyarakat agar tidak ragu melapor jika melihat aktivitas mencurigakan.
"Kami hadir sebagai bentuk tanggung jawab menjaga rasa aman di tengah masyarakat. Penertiban ini kami lakukan dengan tetap menjunjung asas kemanusiaan," pungkasnya.
Pesan ini menjadi penting, terutama bagi warga Kota Bogor yang hidup berdampingan di ruang-ruang publik. Seringkali, keengganan untuk melapor justru membuat situasi tak nyaman itu berlarut-larut dan tak tertangani.
Di tengah dinamika perkotaan seperti Bogor, sinergi antara aparat dan masyarakat adalah pondasi utama. Polisi tidak mungkin menjangkau semua sudut kota setiap saat, sehingga keberanian dan kepedulian warga terhadap lingkungan sekitar akan sangat membantu menjaga harmoni sosial.
Penertiban Jalanan, Bukan Sekadar Tangkap-Lepas
Kasus anak punk ini menjadi contoh penting bahwa penertiban di ruang publik harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih cerdas dan empatik. Ini bukan soal siapa salah dan siapa benar semata, tapi bagaimana membangun sistem sosial yang lebih inklusif.
Selama kelompok marginal seperti anak punk masih dipandang sebelah mata tanpa ada jalan keluar, maka aksi seperti nongkrong mabuk atau gangguan ketertiban akan selalu muncul. Upaya pembinaan oleh Dinsos bisa menjadi pintu masuk transformasi sosial, asalkan ada kesinambungan dan dukungan dari berbagai pihak.
Aparat, lembaga sosial, dan masyarakat perlu berkolaborasi dalam membangun jalan pulang bagi mereka yang terlanjur tersesat di pinggiran kota. Dalam hal ini, Simpang Mawar adalah pengingat kecil bahwa kota bukan hanya tentang bangunan dan jalan raya, tapi juga tentang manusia dan kemanusiaan.
Tidak semua yang mabuk harus dimarahi, dan tidak semua yang berkeliaran harus dijatuhi hukuman. Kadang mereka hanya butuh dipulangkan—bukan ke rumah, tapi ke harapan. Kota Bogor telah mengambil satu langkah kecil ke arah itu. Dan siapa tahu, mungkin langkah kecil itu justru mengubah hidup mereka sepenuhnya.
0Komentar