Aktivitas tambang kapur ilegal di Gunung Karang, Kabupaten Bogor, bikin geger. Sebanyak empat perusahaan dan dua kelompok masyarakat kini terancam sanksi pidana karena berani menggali lahan tanpa izin, hingga merusak 50 hektare kawasan hutan yang seharusnya dilindungi.
Direktur Penindakan Pidana Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rudianto Saragih Napitu, mengatakan kalau para pelaku sudah berkali-kali diingatkan. Tapi mereka tetap ngeyel. "Dari empat titik ini sebenarnya sudah kami kasih surat peringatan dua kali, dan sudah kita informasikan ini pelaku pelanggaran ilegal," ujarnya saat turun langsung ke lokasi.
Gak tanggung-tanggung, lahan hutan yang digali ini ternyata berada di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Bekasi. Kerusakannya parah—kedalaman galian bisa mencapai 10 sampai 20 meter. "Memang pada lokasi ini masih tetap bandel sehingga kami lakukan upaya penertiban," imbuh Rudianto.
Aksi penggalian ini jelas mengubah lanskap Gunung Karang. Dari kejauhan, kontur gunung yang dulunya kokoh, kini terlihat nyaris rata di bagian bawah. “Ini kan gunungnya hilang, jadi hampir datar kami enggak tahu berapa sih potensi alam yang sudah diambil mereka dari galian-galian ini,” jelasnya lagi dengan nada serius.
Ancaman Hukum Berat dan Rencana Rehabilitasi Gunung Karang
Mereka yang terlibat bukan cuma bisa diminta pertanggungjawaban administratif, tapi juga bisa dijerat pidana berat. Para pengelola tambang ilegal itu bisa kena Pasal 78 Ayat (3) juncto Pasal 50 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang UU Cipta Kerja. Ancaman hukumannya bukan main-main.
“Ancaman hukum terhadap pelanggaran tersebut adalah maksimal pidana penjara 10 tahun dan pidana denda maksimal Rp 7,5 miliar, PPNS Ditjen Gakkum akan menindaklanjuti dengan langkah yustisi,” tegas Rudianto. Jadi, bukan cuma modal ekskavator dan nyali, tapi juga siap-siap berhadapan dengan hukum negara.
Dalam operasi gabungan ini, aparat berhasil menyita sembilan ekskavator, tiga dump truck, serta mengamankan sembilan saksi dari pekerja tambang. Barang bukti sudah diamankan, dan penyelidikan akan dilanjutkan secara serius agar aktor di balik aktivitas ini bisa diproses hingga tuntas.
Tak berhenti di situ, KLHK juga bakal melibatkan ahli untuk menghitung nilai kerugian lingkungan akibat pengerusakan ini. Kerusakan semacam ini tak hanya berdampak lokal, tapi bisa memicu bencana regional. Rudianto menegaskan bahwa penertiban ini bagian dari respons cepat pemerintah mencegah kerusakan lebih luas.
“Tujuannya, mencegah dampak kerusakan hutan yang lebih besar seperti banjir di Jabodetabek di awal 2025,” jelasnya. Semua pihak tahu, rusaknya hutan di hulu DAS bisa menyebabkan bencana besar di hilir, termasuk banjir bandang dan longsor yang belakangan makin sering terjadi.
Untuk memperbaiki kondisi yang sudah rusak, pemerintah juga akan menggandeng Perhutani untuk menanami kembali area gundul di Gunung Karang. Program rehabilitasi ini diharapkan bisa mengembalikan fungsi ekosistem, meski butuh waktu dan komitmen besar agar hasilnya nyata.
Tanggung Jawab Bersama, Bukan Sekadar Penertiban
Kasus ini jadi tamparan keras bagi kita semua. Aktivitas tambang liar bukan cuma soal pelanggaran hukum, tapi juga menyangkut masa depan lingkungan, air bersih, dan kelangsungan hidup generasi selanjutnya. Gunung yang digerus hari ini, bisa jadi penyebab bencana esok hari.
Penertiban memang langkah awal, tapi perlu pengawasan berkelanjutan agar kejadian seperti ini tak terus berulang. Apalagi jika perusahaan besar dan kelompok masyarakat lokal bisa dengan mudah mengabaikan hukum dan merusak lingkungan seenaknya.
Semoga langkah cepat dari KLHK ini bisa jadi momentum untuk memperkuat perlindungan kawasan hutan, terutama di titik-titik kritis seperti Gunung Karang. Hutan bukan cuma pemandangan hijau di Google Maps, tapi paru-paru hidup yang menjaga kita dari krisis ekologis.
Jangan sampai kita baru menyesal saat air naik ke dada dan gunung tinggal cerita. Karena jika alam sudah bicara, tak ada izin tambang yang bisa jadi tameng.
0Komentar