TSd7TUO5TfC6BUM8BUr0BSz0
Light Dark
Viral Bendera One Piece di Bogor: Teguran Pemkab dan Sorotan DPR

Viral Bendera One Piece di Bogor: Teguran Pemkab dan Sorotan DPR

Daftar Isi
×


Jelang HUT ke-80 Republik Indonesia, suasana merah putih biasanya jadi warna dominan di jalan-jalan, rumah-rumah, dan kantor pemerintahan. Tapi belakangan, ada pemandangan tak biasa di beberapa sudut Kabupaten Bogor—bendera dari anime One Piece justru ikut berkibar di antara semarak kemerdekaan.

Fenomena ini bikin heboh, dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor langsung gercep alias gerak cepat menanggapi. Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bogor, Ajat Rochmat Jatnika, dengan nada tegas menyatakan bahwa pemasangan bendera nonnasional tidak bisa ditoleransi, apalagi dalam konteks perayaan nasional.

"Eta (itu) pasti, nggak boleh kecolongan. Langsung copot dan tegur," kata Ajat, Selasa (5/8/2025), dikutip dari media online.

Ajat menegaskan bahwa Pemkab sudah sejak awal memberikan imbauan kepada masyarakat dan instansi pemerintah agar bendera Merah Putih dipasang selama bulan Agustus. Menurutnya, hal ini adalah bagian dari upaya memperkuat identitas nasional, bukan malah memberi ruang pada simbol-simbol fiktif dari budaya pop luar.

"Dari pemda gencar imbauan," ujarnya singkat.

Surat Edaran dan Instruksi Tegas

Guna memperkuat himbauan tersebut, Pemkab Bogor bahkan sudah mengeluarkan Surat Edaran (SE) resmi. SE itu mengatur pemasangan bendera Merah Putih mulai dari tanggal 1 sampai 31 Agustus 2025. Tak cuma rumah-rumah warga, tapi juga perusahaan swasta, kendaraan umum, dan truk logistik diminta ikut berpartisipasi.

Instruksi ini bukan cuma soal estetika atau seremonial belaka. Menurut Ajat, pemasangan bendera Merah Putih adalah bentuk partisipasi aktif warga dalam semangat kemerdekaan. Dengan kata lain, ini bukan cuma simbolik, tapi juga edukatif dan ideologis. Dan bendera anime? Jelas bukan tempatnya saat ini.

Namun, tak semua pihak sepakat dengan sikap tegas Pemkab Bogor tersebut. Justru ada suara berbeda dari kalangan legislatif, yang menyoroti fenomena bendera One Piece dari sudut pandang sosial dan politik yang lebih dalam.

Ekspresi Kultural atau Simbol Protes?

Wakil Ketua Komisi XIII DPR, Andreas Hugo Pareira, punya pandangan agak beda. Ia menyebut fenomena pengibaran bendera One Piece sebagai bentuk ekspresi masyarakat—yang justru dijamin dalam konstitusi sebagai bagian dari kebebasan sipil. Menurutnya, ini bukan sekadar soal anime, tapi cerminan kondisi sosial tertentu.

"Ini menjadi bagian dari hak asasi manusia (HAM), sebagai bentuk kebebasan dalam menyampaikan aspirasi dan kegelisahan masyarakat," ujar Andreas, dalam pernyataan yang dilansir media online.

Politikus itu bahkan menyebut ini bisa menjadi sinyal bahwa masyarakat sedang menyampaikan semacam protes diam. Alih-alih lewat demonstrasi atau orasi, bentuknya hadir dalam medium yang sangat kultural—yakni lewat simbol-simbol dari dunia fiksi yang digemari, seperti One Piece.

"Seharusnya ini menjadi bahan introspeksi buat pemerintah, bahwa ada persoalan serius yang membuat masyarakat menyampaikan protes dalam 'diam', dalam bentuk sosial kultur," imbuhnya.

Menakar Batas Wajar Ekspresi Publik

Menurut Andreas, bendera One Piece tidak seharusnya dianggap sebagai tindakan makar atau subversif. Ia menyayangkan jika ada pihak yang terlalu cepat menilai hal ini sebagai ancaman. Sebab bisa jadi, ini adalah bentuk kreativitas yang tumbuh dari rasa kecewa atau tidak puas terhadap situasi terkini.

"Terlalu berlebih-lebihan kalau menganggap bendera One Piece sebagai tindakan makar," tegasnya.

Dari sini muncul pertanyaan penting: di mana sebetulnya batas antara ekspresi budaya dan pelanggaran simbol negara? Apakah pemerintah harus tegas dalam semua situasi, ataukah perlu juga mendengar suara masyarakat dari lapisan-lapisan yang tidak terlihat?

Fenomena ini tidak hanya soal anime atau bendera. Ini juga bicara tentang bagaimana warga, terutama generasi muda, memilih cara mereka menyuarakan pendapat di tengah kebosanan terhadap politik formal. Dalam konteks ini, One Piece bisa menjadi “bendera” dari rasa ingin merdeka secara makna, bukan sekadar ritual.

Sementara itu, sebagian warga di media sosial menyatakan bahwa mereka hanya ingin bersenang-senang. Tak ada maksud menyaingi bendera negara. Beberapa netizen bahkan menyarankan agar pemerintah tidak terlalu “baper” terhadap budaya pop, selama itu tidak merusak nilai-nilai nasionalisme.

Tetapi tetap saja, dalam suasana peringatan kemerdekaan, simbol negara menjadi hal yang sakral. Jika ingin menyampaikan protes, bukankah masih ada cara lain yang lebih kontekstual? Atau justru kita yang harus mulai membuka ruang agar simbol baru bisa berdialog dengan yang lama?

Sebagian pengamat budaya mengatakan, penggunaan simbol budaya pop seperti One Piece bisa jadi jalan baru untuk menjembatani generasi muda dengan nilai-nilai kebangsaan. Daripada melarang total, mungkin saatnya pemerintah mulai lebih terbuka dalam melihat bahasa baru generasi digital.

0Komentar