Biang Kerok Perusak Puncak

TAK kurang dari 370 hektare lahan di puncaknya Puncak dalam kondisi kritis. Alih fungsi lahan jadi biang keroknya.

Alih fungsi dari lahan konservasi atau perkebunan menjadi pemukiman menjadi penyebab utama Kawasan Puncakm tepatnya di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, masuk dalam status kritis.

Terbaru, hasil Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM IPB mengatakan dari 3.899 hektare di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, 370 hektare di antaranya masuk dalam kategori kritis. Akibatnya, wilayah tersebut rawan bencana longsor dan banjir

"Dua desa yang berbatasan dengan Ciloto, Cipanas, Kabupaten Cianjur dan berada di puncak Gunung Gede Pangrango tersebut 370 hektare di antaranya masuk dalam status kritis dan harus segera direhabilitasi," ucap Thomas Oni Veriasa, Manajer Program Pemulihan Ekosistem di Hulu DAS Sungai kepada wartawan, Senin (10/12/2018).

Dia menerangkan dulu Kawasan Puncak walaupun diguyur hujan deras dengan waktu lama tidak pernah terjadi bencana longsor dan banjir. Tapi sejak alih fungsi lahan konservasi dan perkebunan menjadi bangunan vila, bencana tidak segan menghampiri.

"Alih fungsi lahan konservasi dan perkebunan menjadi vila atau hotel menyebabkan wilayah resapan air berkurang dan terjadi pergeseran tanah. Akibatnya, semester pertama tahun 2018 Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung terkena bencana longsor dan banjir," terangnya.

Pria asli Yogyakarta ini menjelaskan adanya inkonsistensi atau pelanggaran tata ruang harus disikapi dengan tegas oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

"Kami sudah melaporkan hasil kajian dan adanya pelanggaran tata ruang. Kami mengharapkan ada tindakan tegas sesuai aturan yang berlaku. Apalagi Kawasan Puncak yang merupakan Hulu DAS Ciliwung ini masuk dalam wilayah strategis nasional dan pengendalian tata ruang di Puncak bisa ikut mengendalikan banjir di Jakarta," jelas Thomas.

Febri Sastiviani Putri Cantika dari Konsorsium Save Puncak menuturkan sebenarnya sejak tahun 2017 jajarannya sudah menemukan 54 titik rawan bencana longsor dan banjir di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan.

"Tahun 2017 kami sudah lapor adanya pergeseran dan penurunan tanah hingga 3 meter, tetapi laporan kami itu kurang dtanggapi dan diantisipasi oleh PT Perkebunan Nusantara VIII maupun pemerintah daerah hingga terjadilah bencana longsor dan banjir. Bahkan sebuah bukit di Kampung Cibolao yang mengalami longsor pada Februari lalu hingga saat ini belum ditangani," tutur Uti, sapaan akrabnya.

Dia menambahkan selain karena pergeseran tanah, penyebab lain bencana banjir karena terjadi sedimentasi dan penyempitan di DAS Sungai Ciliwung.

"Lumpur, kayu dan sampah yang terbawa hujan menjadi sedimentasi hingga tinggi Sungai Ciliwung berkurang. Selain itu ada penyempitan DAS Ciliwung karena berdirinya bangunan hingga air meluap," tambahnya.

Didik Widyatmoko, Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor (LIPI) mengajak pemerintah daerah, pemerintah pusat dan masyarakat menggalakkan penanaman pohon di lahan-lahan kritis dan DAS Ciliwung.

"LIPI sejak tahun 2016 mengajak semua pihak khususnya petani dan masyarakat untuk menanam pohon produktif (rehabilitasi) di lahan-lahan kritis dan DAS Ciliwung, langkah ini semoga bisa mengurangi luas lahan kritis menjadi lahan tidak kritis," kata Didik.

Sumber : Inilahkoran.com
#BogorChannel

0 Komentar