Diserang Tentara Jepang di Bogor, KNIL Kocar Kacir Lalu Kabur

Setelah menghancurkan kekuatan Sekutu di Leuwiliang, prajurit-prajurit Jepang tak tertahan masuk Bogor. Tak ada perlawanan dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Usai membersihkan Laut Jawa dari armada-armada Inggris dan Belanda, Tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang (Rikugun) akhirnya berhasil sampai di Teluk banten pada awal Maret 1942.

Seolah tak terbendung, mereka lantas bergerak ke arah timur. Kolone pertama masuk melalui rute Serang-Balaraja menuju Tangerang. Kolone kedua, bergerak melalui rute Serang-Rangkasbitung menuju Bogor.

Sebelum masuk ke kota Bogor, kolone kedua Tentara ke-16 sempat diadang kekuatan Sekutu dari tiga negara. Brigade Blackforce (Australia), Texas Guard (Amerika Serikat) dan Resimen Tank ke-3 Hussars (Inggris) serta sejumlah kecil prajurit dari Batalyon Perintis (Australia).

Pertempuran besar pun pecah di Leuwiliang dan sepanjang Jembatan Cianten dengan akhir kekalahan pihak Sekutu.

"Pada 5 Maret 1942, kekuatan gabungan itu terpaksa harus mundur dan membiarkan Leuwiliang dikuasai tentara Jepang," demikian menurut Andrew Faulkner dalam Arthur Blackburn, VC: An Australian Hero, his men, and their two world wars.


Tentara Belanda Kocar Kacir

Dari Leuwiliang, sisa-sisa pasukan Sekutu meluputkan diri ke wilayah Buitenzorg (Bogor kota). Di sana, mereka berharap bisa menyusun kembali perlawanan dengan bantuan pasukan KNIL dan sekelompok Stadswacht (Pasukan Penjaga Kota) yang direkrut dari para penduduk sipil. Namun seolah tanpa ampun, kekuatan Tentara ke-16 Jepang terus memburu mereka.

Ketika menyerang kota yang disebut pihak Belanda sebagai Buitenzorg itu, tentara Jepang datang dari dua arah: Leuwiliang-Semplak-Cilendek- Kota Bogor dan Serang-Balaraja-Tangerang-Jakarta-Kota Bogor.

Kedatangan Tentara Rikugun itu nyaris tak mendapat perlawanan berarti. Alih-alih ikut mempertahankan kota, para prajurit KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) malah lintang pukang alias kocar kacir dan tak berdaya. Hal itu membuat orang-orang pribumi yang tergabung dalam Stadswacht menjadi patah arang.

"Sebenarnya saya ingin juga bertempur, tetapi orang-orang Belanda terlihat tidak sungguh-sungguh dan takut. Lalu mengapa saya harus membela mereka?" ujar R. Bunawan Achmad (eks anggota Stadswacht) seperti dikutip oleh Susanto Zuhdi dalam Bogor Zaman Jepang, 1942-1945.


Bogor Dalam Genggaman Jepang

Singkat cerita, militer Jepang secara resmi menguasai Keresidenan Bogor pada 8 Maret 1942. Sebagian besar pasukan KNIL meletakkan senjata. Sisanya menyingkir bersama tentara Australia ke Cianjur melalui Puncak dan Cipanas.

Sesuai aturan yang mereka keluarkan dalam undang-undang yang disebut Osamu Seirei, untuk sementara waktu tak ada perubahan berarti dalam sistem pemerintahan di seluruh wilayah keresidenan, sejauh tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang.

"Mereka hanya mengganti seluruh istilah pemerintahan yang tadinya diambil dari bahasa Belanda menjadi menggunakan istilah Jepang. Seperti keresidenan, mereka menyebutnya shu," ungkap sejarawan Rushdy Hoesein.

Namun khusus untuk jabatan puncak, pemerintah militer Jepang tetap menempatkan orang-orang-nya. Seperti jabatan gubernur Jawa Barat dipegang oleh seorang kolonel Angkatan Darat bernama Matsui, sedangkan wakil-nya baru dijabat oleh R. Pandu Suryadiningrat dan Atik Suardi sebagai pembantu gubernur.

"Di Bogor shu, R. A.A. Suryaningrat diangkat sebagai residen," demikian menurut Pusponegoro, Marwati Djoenoed dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Indonesia Jilid IV.

Sumber : merdeka

0 Komentar