Suasana pagi dan sore di Kampung Bojong Keong, Desa Mekarsari, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, mendadak tak lagi senyap seperti biasa. Sudah tiga hari belakangan, dua ekor monyet liar berkeliaran bebas di antara rumah-rumah warga. Bukan sekadar numpang lewat, hewan primata itu mulai bikin waswas warga setempat.
Aksi dua monyet liar ini awalnya dianggap hal biasa. Namun, seiring berjalannya waktu, kehadiran mereka justru makin sering terlihat. Bukan cuma di satu titik, tapi sudah berpindah-pindah, dari halaman rumah, atap, hingga ke warung warga. Warga pun mulai resah, bukan karena monyet-monyet ini menyerang, melainkan karena ketidakpastian: ini hewan liar atau peliharaan yang lepas?
Ketua RT 04 RW 03, Yeti (41), mengonfirmasi keresahan yang dialami warganya. Ia menyebut dua ekor monyet itu memang kerap muncul di jam-jam yang hampir sama.
“Namun keberadaan hewan liar itu tetap saja membuat warga merasa resah dan khawatir. Kalau mengganggu sih enggak,” ujar Yeti saat ditemui, Minggu (15/6/2025).
Menurut penuturan Yeti, monyet-monyet itu lebih sering muncul pagi dan sore hari. Mereka biasanya terlihat di pekarangan rumah, bahkan sempat membuat heboh warga saat masuk ke sebuah warung kecil milik salah satu penduduk. Aksi itu membuat pemilik warung panik karena hewan tersebut sempat mengambil sejumlah makanan ringan seperti kacang dan jajanan lainnya.
Kendati begitu, sejauh ini dua monyet liar itu belum menunjukkan perilaku menyerang atau bertindak agresif. Namun, kekhawatiran warga tetap beralasan. Bagaimana tidak, hewan liar tak bisa diprediksi. Hari ini mungkin jinak, besok siapa tahu bisa berubah menjadi ancaman. Terlebih jika merasa terpojok atau terganggu, insting liar mereka bisa saja muncul sewaktu-waktu.
Dalam kondisi seperti ini, ketenangan warga jelas terganggu. Warga pun mulai membatasi aktivitas luar ruang, terutama anak-anak. Beberapa bahkan memilih menutup jendela lebih awal dari biasanya. Sebagian warga lainnya sempat mencoba mengusir dua monyet itu, tapi upaya tersebut tidak berhasil. Primata tersebut malah memanjat pohon dan berpindah ke rumah lain.
Ketika ditanya soal asal-usul hewan tersebut, Yeti menyampaikan bahwa hingga kini belum ada kejelasan apakah monyet itu peliharaan yang lepas atau memang berasal dari habitat liar sekitar Rumpin. Tapi dugaan kuat mengarah pada satwa liar.
“Saya kurang tahu itu peliharaan atau bukan, tapi kayaknya itu monyet liar,” katanya.
Memang, wilayah Rumpin dikenal masih memiliki sejumlah area hutan kecil dan pepohonan lebat yang bisa menjadi habitat alami satwa seperti monyet. Tak sedikit warga menduga, monyet-monyet itu kemungkinan tersesat saat mencari makan atau kehilangan tempat tinggal karena habitat mereka terganggu.
Tak hanya menimbulkan kecemasan, kehadiran hewan liar seperti ini juga menyadarkan warga bahwa interaksi manusia dan satwa liar di wilayah pinggiran seperti Rumpin makin sering terjadi. Apakah ini karena perubahan iklim, alih fungsi lahan, atau semakin sempitnya habitat alami bagi satwa liar, semuanya masih menjadi tanda tanya besar.
Warga pun berharap ada respons dari pihak berwenang. Kehadiran petugas yang bisa mengamankan hewan tersebut sangat dinantikan agar situasi tidak semakin meresahkan. Apalagi, jika monyet-monyet itu mulai terbiasa dengan keberadaan manusia, bisa saja muncul kecenderungan untuk datang kembali dan bertindak lebih berani.
"Sebab jika hewan liar tersebut dibiarkan berkeliaran di kampung, dapat berpotensi membahayakan warga," tandas Yeti.
Situasi ini juga jadi pengingat pentingnya kolaborasi antara warga dan pemerintah dalam menangani persoalan satwa liar. Dinas terkait seperti Dinas Kehutanan atau BKSDA idealnya bisa segera turun tangan, setidaknya melakukan pengamatan awal. Apakah ini benar hewan liar? Jika iya, maka mereka harus diamankan dan dikembalikan ke habitat yang tepat. Jika ini hewan peliharaan yang lepas, pemiliknya perlu diingatkan soal tanggung jawab memelihara satwa eksotis.
Masalah ini juga bisa menjadi pelajaran soal pentingnya edukasi warga dalam menghadapi kehadiran satwa liar. Misalnya, tidak memberikan makanan secara langsung, tidak memprovokasi, dan segera melapor kepada RT atau aparat setempat. Ketenangan warga tidak boleh dikorbankan oleh kelalaian siapa pun.
Secara keseluruhan, kejadian ini tampak sederhana, tapi menyimpan banyak lapisan persoalan. Bukan cuma soal dua ekor monyet berkeliaran, tapi juga tentang bagaimana kita hidup berdampingan dengan alam tanpa merusaknya. Wilayah seperti Rumpin, yang masih punya sisa-sisa hutan dan alam liar, memang lebih rentan terhadap hal seperti ini. Tapi bukan berarti tidak bisa diatasi.
Kuncinya ada pada komunikasi yang cepat dan pengelolaan yang tepat. Pemerintah daerah, bersama lembaga perlindungan satwa, perlu menjadikan ini sebagai prioritas kecil yang bisa berdampak besar. Sebab kalau dibiarkan terlalu lama, rasa resah warga bisa berubah menjadi panik. Dan dalam kondisi seperti itu, bukan tidak mungkin tindakan-tindakan yang lebih ekstrem akan dilakukan oleh warga untuk melindungi dirinya sendiri.
Dengan begitu, langkah terbaik saat ini adalah sigap tanggap. Petugas turun, observasi dilakukan, dan solusi diambil. Apakah hewan itu perlu diamankan, direlokasi, atau dikembalikan ke pemilik jika memang peliharaan—semuanya harus berdasarkan pendekatan yang bijak, bukan asal tangkap.
0Komentar