Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 49 Tahun 2025 pada 6 Mei lalu. Perpres ini menjadi penanda berakhirnya kiprah Satgas Saber Pungli, yang sebelumnya dibentuk lewat Perpres Nomor 87 Tahun 2016. Alasannya? Satgas dianggap sudah tidak lagi efektif dalam pemberantasan pungutan liar secara nasional.
Langkah pembubaran ini sontak menimbulkan pro dan kontra. Di level pusat, kebijakan ini dipandang sebagai upaya pembaruan strategi, namun di level daerah dan kalangan aktivis antikorupsi, muncul pertanyaan besar: apakah pengawasan pungli bisa tetap berjalan optimal tanpa keberadaan satgas yang selama ini jadi garda terdepan?
Dampaknya juga langsung terasa di daerah. Kantor Satgas Saber Pungli Kota Bogor, yang terletak di samping Balai Kota, menjalani hari-hari terakhirnya. Tapi alih-alih lesu, justru muncul inisiatif baru untuk merespons kekosongan itu. Salah satunya datang dari Alma Wiranta, jaksa yang ditugaskan Kejaksaan Agung RI di Pemkot Bogor sebagai Kepala Bagian Hukum dan HAM.
“Lebih efektif jika Kota Bogor membentuk Satgas Pelayanan Publik Pelindungan Masyarakat, yang tugasnya fokus menangani masalah aduan pelayanan publik dan pelindungan masyarakat,” ujar Alma menanggapi keputusan pemerintah pusat.
Menurut Alma, gagasan membentuk Satgas baru ini bukan sekadar pengganti Saber Pungli, melainkan perluasan fungsi yang lebih progresif. Satgas ini tak hanya mengawasi pungli, tapi juga meningkatkan kualitas layanan publik serta memberikan pelindungan pada kelompok masyarakat rentan. Ini bukan sekadar wacana, melainkan bagian dari reformasi regulasi berbasis hak asasi manusia.
Landasan hukum yang jadi rujukan Alma antara lain UU Pelayanan Publik No. 25 Tahun 2009, Permendagri No. 26 Tahun 2020, dan Permendagri No. 11 Tahun 2023 tentang Satgas Perlindungan Masyarakat. Ketiganya dianggap bisa membentuk kerangka hukum yang kuat dan akuntabel. Alma dan tim hukum di Pemkot Bogor kini tengah merumuskan dasar legal yang tidak sekadar formalitas, tapi benar-benar operasional di lapangan.
Satu hal penting lainnya adalah pemanfaatan anggaran. Alma menegaskan bahwa sisa dana yang sebelumnya dialokasikan untuk Satgas Saber Pungli melalui APBD tidak boleh dibiarkan mubazir. Maka dari itu, transisi ke satgas baru juga dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan anggaran sekaligus memaksimalkannya untuk pelayanan yang lebih menyentuh masyarakat.
Menariknya, Bogor tidak sendirian. Kota Bandung sudah lebih dulu menyesuaikan diri. Begitu Saber Pungli resmi dibubarkan, Bandung langsung membentuk satgas baru yang bahkan mulai menyelidiki kasus jual beli kursi sekolah dalam proses PPDB. Respons cepat ini jadi contoh nyata bahwa pembubaran bukan akhir, tapi bisa jadi awal reformasi yang lebih tajam.
Kota Bogor pun ingin menjadikan momentum ini sebagai gerakan kolektif. Satgas Pelayanan Publik dan Pelindungan Masyarakat dirancang untuk mengawal empat hal penting: deteksi dini dan penanganan pengaduan publik, pelindungan kelompok rentan, transparansi birokrasi, serta akuntabilitas dengan dasar hukum yang kokoh.
Alma, yang juga dikenal sebagai auditor hukum, melihat ini sebagai peluang langka. Ia menyebut, “Kalau kita rancang dengan tepat, melibatkan semua pihak—mulai dari masyarakat, birokrat, sampai advokat yang bisa hadir lewat layanan pro bono—model satgas ini bisa jadi contoh buat kota-kota lain di Indonesia.”
Bogor memang sudah punya pondasi kuat. Audit terhadap regulasi daerah menggunakan prinsip P5 HAM telah dilakukan, dan bahkan daerah ini memiliki Peraturan Daerah Ramah HAM. Artinya, ketika satgas baru ini terbentuk, ia tak berjalan di ruang hampa, melainkan sudah punya jaringan hukum dan regulasi yang siap menopangnya.
Apalagi kalau bicara semangat lokalitas, Bogor sedang dalam masa emas untuk membuktikan bahwa otonomi daerah bisa menciptakan inovasi hukum yang kontekstual. Kata Alma, ini bukan cuma soal hukum, tapi juga tentang keberpihakan pada warga yang selama ini sulit bersuara dalam pelayanan publik.
Dari kacamata governance, pendekatan ini adalah bentuk baru dari pelayanan publik berbasis keadilan sosial. Bukan hanya merespons masalah, tapi juga membangun mekanisme pencegahan yang berkelanjutan. Tak heran jika banyak pihak menyebut langkah ini sebagai "reformasi dari bawah", alias ngabret ti handap.
Buat warga, ini adalah harapan baru. Daripada terus bergantung pada satuan tugas pusat yang efektivitasnya mulai dipertanyakan, membangun kekuatan lokal dengan pijakan regulasi kuat dan pelibatan masyarakat bisa menjadi jalan keluar yang lebih berkelanjutan.
Kalau langkah ini berhasil, bukan tak mungkin Kota Bogor akan jadi rujukan nasional. Karena sejatinya, pembubaran Satgas Saber Pungli bukan titik henti. Ia adalah titik awal perubahan besar yang dimulai dari kota yang berani berpikir beda.
Dan kalau ada kota yang siap menyambut tantangan itu, Bogor tampaknya sudah lebih dari siap. Jadi, dari balik riuhnya pro-kontra pusat, diam-diam, reformasi justru bisa tumbuh dari pinggir kota.
0Komentar