Ribuan mahasiswa dan warga dari Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, kembali membuat suara rakyat menggema di halaman Kantor Bupati Bogor pada Kamis malam, 19 Juni 2025. Aksi damai ini bukan sekadar demo biasa, melainkan bentuk akumulasi kekecewaan panjang terhadap janji-janji Pemkab Bogor yang tak kunjung ditepati.
Aliansi Himpunan Mahasiswa Rumpin (HMR) dan masyarakat Rumpin tampil sebagai penggerak utama. Mereka menuntut dua hal penting yang selama ini menjadi momok di wilayah mereka: pembangunan jalan khusus tambang dan penerangan jalan umum (PJU) di titik-titik rawan kecelakaan.
Aksi ini sudah direncanakan dengan matang. Ribuan massa memulai long march dari Tugu Perjuangan Rumpin pukul 09.00 WIB, menempuh perjalanan sekitar 9 jam sebelum akhirnya tiba di pusat pemerintahan Kabupaten Bogor, kawasan Tegar Beriman, Cibinong, sekitar pukul 18.15 WIB. Sepanjang perjalanan, para peserta aksi membawa spanduk dan poster yang berisi tuntutan kepada pemerintah.
Isi pesan dalam poster-poster itu menggambarkan kegelisahan warga yang selama bertahun-tahun harus menghadapi jalan rusak, gelap gulita saat malam, serta hilir-mudik truk tambang yang membahayakan keselamatan.
Keluhan soal infrastruktur bukan hal baru di Kecamatan Rumpin. Jalanan rusak, minim lampu penerangan, dan truk tambang yang menguasai jalur umum sudah jadi pemandangan harian yang seolah dianggap wajar. Padahal, kondisi ini nyata-nyata mengancam keselamatan warga, memperlambat roda perekonomian, dan memperparah kesenjangan antarwilayah. Kesimpulannya, pembangunan belum benar-benar merata.
Ketua Umum Mahasiswa HMR sekaligus koordinator lapangan aksi, Nanda, menyampaikan tuntutan dengan lantang di tengah massa. "Kami menuntut Bupati Bogor untuk segera merealisasikan pembangunan jalan khusus tambang dan PJU yang telah dijanjikan oleh Pemkab Bogor. Warga Rumpin sudah lama menunggu, dan membutuhkan infrastruktur yang memadai untuk meningkatkan keselamatan dan perekonomian," ujarnya dalam orasi pada Kamis (19/6).
Pernyataan itu mendapat sambutan yel-yel dari massa aksi. Orasi dilanjutkan dengan pembacaan petisi yang kemudian diserahkan kepada perwakilan Pemerintah Kabupaten Bogor. Dalam petisi tersebut, warga dan mahasiswa mendesak agar janji pembangunan yang pernah disampaikan pemerintah tak hanya menjadi wacana manis jelang pemilu, tetapi harus benar-benar terealisasi dalam waktu dekat.
Aksi yang diwarnai semangat perlawanan terhadap ketimpangan pembangunan ini berlangsung damai dan tertib. Aparat kepolisian turut mengawal jalannya aksi agar tidak terjadi gesekan. Terlihat, massa tetap menjaga kebersihan dan ketertiban selama aksi berlangsung, bahkan beberapa peserta membagikan air minum gratis kepada sesama pengunjuk rasa.
Ketegasan sikap para mahasiswa dan partisipasi aktif warga ini bukan tanpa alasan. Mereka merasa selama ini wilayah Rumpin hanya dijadikan lumbung ekonomi karena potensi tambangnya, tapi minim mendapatkan perhatian dari sisi pembangunan infrastruktur dasar. Rumpin yang kaya akan sumber daya tambang, justru menghadapi paradoks pembangunan yang membuat warganya terpinggirkan.
Dalam sejarah gerakan sosial lokal di Kabupaten Bogor, aksi 19 Juni 2025 ini layak dicatat sebagai salah satu momentum terbesar. Jumlah massa yang mencapai ribuan orang memperlihatkan bahwa kesabaran warga sudah mendekati titik puncak. Apalagi saat isu keselamatan dan kesejahteraan tak lagi dianggap prioritas oleh pemangku kebijakan.
Para peserta aksi tidak hanya datang dari kalangan mahasiswa. Tampak pula para ibu rumah tangga, buruh, tokoh masyarakat, hingga pelajar ikut bergabung dalam barisan panjang yang menyuarakan satu hal: keadilan pembangunan. Salah satu warga, Pak Ridwan (52), mengaku telah kehilangan saudara karena kecelakaan di jalur tambang yang gelap dan rusak. “Kami tidak minta yang muluk-muluk. Kami cuma ingin aman dan nyaman di tanah kami sendiri,” tuturnya.
Aksi ini juga menjadi simbol bahwa mahasiswa dan rakyat bisa bersatu dalam satu barisan jika keadilan sudah tak bisa lagi didapatkan lewat ruang-ruang formal. Mahasiswa sebagai moral force dan agent of change membuktikan bahwa suara dari bawah bisa menjebol tembok ketidakpedulian penguasa. Dan warga, dengan semangat gotong royong, memberikan daya tahan aksi yang luar biasa.
Secara teknis, tuntutan pembangunan jalan khusus tambang memang sudah dibahas sejak 2019. Bahkan beberapa dokumen perencanaan sudah disusun, namun progres di lapangan nihil. Begitu pula dengan PJU. Beberapa titik rawan seperti Jalan Gunung Nyungcung dan jalur lintas Pasir Laja sering jadi lokasi kecelakaan karena gelap gulita. Tanpa penerangan dan jalur khusus, warga seperti dipaksa hidup dalam bayang-bayang maut.
Ironisnya, pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor tambang di Bogor cukup tinggi. Hal ini menimbulkan pertanyaan: kemana dana tersebut dialirkan jika infrastruktur dasar di daerah penghasil justru diabaikan? Warga menuntut transparansi dan keberpihakan, bukan hanya laporan tahunan yang penuh angka tanpa dampak nyata.
Massa aksi pun menyampaikan bahwa jika dalam waktu dekat tidak ada langkah konkret dari pemerintah, mereka siap kembali turun ke jalan dengan jumlah massa yang lebih besar. Ini bukan sekadar ancaman, melainkan bentuk perlawanan terhadap pola-pola pengabaian yang sudah terlalu lama dibiarkan.
Aliansi HMR menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal isu ini hingga tuntutan dipenuhi. Mereka juga berencana menggalang solidaritas dari kampus-kampus lain, serta menyusun kajian akademik untuk mendorong pengawasan publik terhadap realisasi janji pemerintah. Dengan pendekatan ilmiah dan gerakan akar rumput, mereka berharap suara warga bisa lebih didengar.
Kesimpulannya, aksi ribuan mahasiswa dan warga Rumpin ini bukan sekadar unjuk rasa jalanan. Ini adalah refleksi kegagalan pemerintah dalam merespons kebutuhan mendasar masyarakat. Ketika janji-janji tak kunjung diwujudkan, maka suara rakyat akan terus menggema—dan kali ini, Rumpin sudah bersuara, dengan keras dan jelas.
0Komentar