TSd7TUO5TfC6BUM8BUr0BSz0
Light Dark
Fenomena Cerai Massal di Bogor: Ribuan Rumah Tangga Runtuh Setiap Tahun, Ini Biangnya

Fenomena Cerai Massal di Bogor: Ribuan Rumah Tangga Runtuh Setiap Tahun, Ini Biangnya

Daftar Isi
×


Sebuah situasi yang agak sunyi tapi serius sedang berkembang di Kabupaten Bogor. Data dari Pengadilan Agama (PA) Cibinong menyebutkan bahwa sekitar 9.000 pasangan memutuskan bercerai tiap tahun. Kalau dihitung rata-rata, artinya ada 40 pasangan yang pisah setiap hari. Bukan angka yang kecil, bukan pula masalah sepele.

Demi menghadapi gelombang gugatan yang terus berdatangan, Pemkab Bogor bersama PA Cibinong meluncurkan inisiatif inovatif bernama "Layanan Jemput Asa" (LJA). Program ini dirancang untuk menangani ledakan perkara perceraian yang kian membengkak. Tapi muncul pertanyaan penting: apa sebenarnya yang bikin pasangan suami istri akhirnya menyerah?

Antara Realita dan Ekspektasi: Kenapa Banyak yang Pisah?

Sekretaris Daerah Kabupaten Bogor, Ajat Rochmat Jatnika, menegaskan bahwa perkara perceraian mendominasi mayoritas kasus yang masuk ke PA Cibinong. “Jadi ada sekitar 9.000-an perkara (perceraian) setiap tahun nya di Kabupaten Bogor,” kata Ajat. Artinya, dari total sekitar 12.000 kasus per tahun, 70-80 persennya adalah perceraian.

Meski setiap kisah rumah tangga punya dinamika unik, tapi tren nasional memperlihatkan pola yang berulang. Dalam banyak kasus, tiga faktor ini sering muncul sebagai penyebab utama: pertengkaran tak berkesudahan, tekanan ekonomi, dan kehadiran orang ketiga. Semua ini ibarat bom waktu yang tinggal menunggu meledak.

3 Bom Waktu dalam Pernikahan Modern

1. Perselisihan dan Pertengkaran Terus-Menerus

Pertengkaran bukan hal baru dalam hubungan suami istri, tapi ketika frekuensinya tinggi dan tak kunjung reda, itu bisa jadi tanda bahaya. Banyak pasangan yang sebenarnya bukan bertengkar karena hal besar, tapi akumulasi dari komunikasi yang buruk, perbedaan prinsip hidup, sampai campur tangan keluarga besar. Kalau udah tiap hari ribut, siapa yang kuat?

2. Masalah Ekonomi (Faktor Paling Sensitif)

Di sinilah letak kerentanan yang jarang dibicarakan terbuka. Tekanan finansial bisa merusak emosi dan logika. Misalnya, pasangan yang salah satunya kehilangan pekerjaan, hutang pinjol menumpuk, gaya hidup tak sesuai gaji, atau pengelolaan uang rumah tangga yang tak transparan. Ketika kebutuhan dasar saja tak terpenuhi, emosi bisa meledak kapan saja.

3. Orang Ketiga atau Meninggalkan Salah Satu Pihak

Ini klasik, tapi tetap relevan. Hadirnya orang ketiga — apalagi di era media sosial dan aplikasi kencan — bikin peluang selingkuh makin terbuka lebar. Selain itu, tak sedikit kasus di mana salah satu pasangan ‘hilang’ entah kemana, kadang karena tekanan ekonomi, kadang karena memang tak siap bertanggung jawab. Ujungnya? Gugatan cerai.

Layanan Jemput Asa: Inovasi Sosial di Tengah Krisis

Melihat masalah ini sebagai krisis sosial yang nyata, Pemkab Bogor dan PA Cibinong mencoba turun tangan dengan pendekatan baru. Mereka bikin program Layanan Jemput Asa yang tidak hanya mempercepat proses hukum, tapi juga mengedukasi masyarakat soal hak dan prosedur. Ini penting banget, apalagi buat warga yang sering dimanfaatkan calo.

Menurut Ajat, calo jadi masalah tersendiri. Mereka kerap mendekati warga yang sedang lemah secara emosional dan menjual ‘solusi’ instan yang justru memperumit. “Kalau misalnya tidak didekatkan, tidak transparan, maka permasalahan saat ini kan banyak calo, orang datang bermasalah, tapi justru bukan menyelesaikan tapi didatangi para calo,” tegasnya.

Sosial Media dan Ketidaksetiaan Digital

Di era digital sekarang, menjaga komitmen dalam pernikahan jadi makin sulit. Satu notifikasi dari Instagram atau DM dari masa lalu bisa berujung drama. Daya tarik dunia maya kadang lebih kuat daripada realita rumah tangga, apalagi kalau komunikasi sudah tak sehat. Banyak pasangan yang akhirnya terjebak, tanpa sadar, dalam jerat pengkhianatan digital.

Masalah perceraian juga berdampak ke anak-anak. Anak korban perceraian berisiko mengalami trauma psikologis, penurunan prestasi akademik, hingga kesulitan menjalin hubungan emosional yang sehat di masa depan. Ini yang sering luput dari diskusi: bahwa perceraian tak cuma menyakiti dua orang, tapi juga generasi berikutnya.

Ketahanan Rumah Tangga dan Edukasi Pra-Nikah

Beberapa ahli menyebut bahwa edukasi pra-nikah masih kurang optimal. Banyak pasangan yang menikah hanya karena cinta, tanpa memahami realita hidup berumah tangga. Akibatnya, ketika menghadapi tekanan, mereka tak punya pondasi kuat untuk bertahan. Pelatihan tentang keuangan, komunikasi, hingga peran dalam rumah tangga seharusnya jadi hal wajib.

Ada juga gagasan untuk memperkuat fungsi KUA sebagai pusat edukasi, bukan cuma tempat akad nikah. Ini agar calon pasangan bisa dapat bekal lebih lengkap, bukan cuma formalitas administrasi. Seandainya ini diterapkan lebih serius, bisa jadi angka perceraian bisa ditekan perlahan.

Kalau kita bicara angka, 9.000 kasus perceraian tiap tahun bukan hanya statistik. Di balik setiap angka itu ada keluarga yang bubar, anak yang kehilangan keseimbangan, dan masa depan yang harus disusun ulang. Masalah ini nyata dan terus berkembang.

Jadi, daripada menunggu ledakan bom waktu di rumah sendiri, mungkin sudah saatnya kita semua, sebagai masyarakat, belajar membangun komunikasi yang sehat, mengelola konflik dengan bijak, dan menjadikan pernikahan sebagai perjalanan dua arah — bukan jalan satu arah menuju kehancuran. Kadang, langkah kecil seperti saling mendengarkan bisa jadi kunci menyelamatkan bahtera.

Dan kalau rumah tangga sudah mulai bocor, jangan tunggu tenggelam. Buka jendela, cari angin segar, atau mungkin... panggil “Layanan Jemput Asa”. Siapa tahu, asa yang hilang bisa kembali berlayar.

0Komentar