Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini bikin publik—khususnya para politisi—angkat alis. Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 resmi memisahkan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah. Banyak yang kaget, tak terkecuali Wakil Ketua II DPRD Kota Bogor, H. Mochamad Zenal Abidin dari Partai Gerindra.
Menurut Zenal, dari sisi aturan konstitusi, keputusan MK tersebut memang terkesan agak nyeleneh. Tapi apa mau dikata, palu MK sudah diketuk. Para kader di daerah, seperti dirinya, tinggal menunggu aba-aba dari DPP Partai Gerindra untuk langkah selanjutnya.
"Kami baru dengar ya, beberapa hari yang lalu, kemarin ya. Nah ini yang bikin kami agak sedikit mengkhawatirkan dari para elite elite (politik). Tapi kami sendiri sangat bersyukur ya (dengan adanya putusan tersebut)," ujar Zenal kepada Kantor Berita RMOLJabar, Selasa, 1 Juli 2025, di sela acara HUT Bhayangkara ke-79 tingkat Kota Bogor.
Dari sudut pandangnya sebagai legislator daerah, Zenal melihat sisi positif dari putusan tersebut. Terutama dalam hal efektivitas menjalankan amanah rakyat di DPRD. Dengan masa jabatan diperpanjang dari 2029 menjadi 2031, para anggota DPRD akan punya waktu lebih panjang untuk merampungkan program kerja dan pembangunan.
Ia menyampaikan bahwa saat ini, yang paling penting adalah menunggu seperti apa dinamika politik ke depan, menyusul putusan MK yang cukup mengejutkan ini. Apakah akan ada revisi UU, atau malah aturan teknis lain dari KPU dan Kemendagri, semuanya masih bersifat dinamis.
"Cuma kan kita lihat dulu situasinya seperti apa hasil dari putusan MK ini," ungkapnya, memberi isyarat bahwa masih banyak yang harus ditelaah lebih dalam.
Zenal juga menekankan, jangan sampai putusan ini justru membuat kisruh atau menabrak aturan hukum yang lebih tinggi. Ia berharap para pemangku kebijakan benar-benar mempertimbangkan segala aspek sebelum keputusan ini dijalankan sepenuhnya ke daerah-daerah.
Menurutnya, ada alasan tertentu mengapa MK memberi perpanjangan masa jabatan kepala daerah serta anggota legislatif tingkat kota, kabupaten, hingga provinsi. Meski belum jelas dasar yuridisnya, tapi ia meyakini bahwa keputusan tersebut tidak diambil sembarangan.
"Kita lihat sajalah nanti. Mudah-mudahan putusan ini kebaikan bagi masyarakat dan rakyat," tutup Zenal, dengan nada penuh harap.
Di tengah dinamika politik nasional yang sedang hangat, para politisi daerah seperti Zenal memang punya tantangan tersendiri. Mereka berada di antara tuntutan rakyat dan kebijakan pusat yang bisa berubah sewaktu-waktu. Namun, bagaimanapun, suara dari daerah juga punya peran penting dalam menjaga stabilitas politik nasional.
Sementara itu, masyarakat Kota Bogor pun ikut mencermati perkembangan ini. Banyak yang mempertanyakan, apakah perpanjangan masa jabatan akan berdampak positif pada pelayanan publik atau justru membuat kerja legislatif dan eksekutif di daerah makin stagnan? Jawabannya tentu akan terlihat dalam waktu dekat.
Jika putusan ini benar-benar dijalankan, maka wajah politik lokal akan berubah signifikan. DPRD dan kepala daerah bisa lebih leluasa dalam perencanaan pembangunan jangka menengah tanpa terganggu ritme lima tahunan pemilu. Tapi di sisi lain, publik juga berharap agar tidak muncul kesan memperpanjang jabatan tanpa mandat langsung dari rakyat.
Secara politis, keputusan ini juga berpotensi menggoyang struktur kampanye partai-partai besar. Sebab, pola mobilisasi suara akan terbagi dua: pemilu nasional fokus pada legislatif pusat dan presiden, sementara pemilu daerah nanti akan benar-benar mandiri. Ini bisa jadi tantangan sekaligus peluang baru.
Di kalangan pengamat politik, putusan ini dipandang sebagai langkah berani MK dalam menjawab ketimpangan pelaksanaan pemilu serentak. Banyak pihak sebelumnya mengeluhkan tumpang-tindih jadwal, beban logistik, hingga lemahnya pengawasan. Tapi tetap, soal konstitusionalitasnya masih menyisakan ruang debat yang cukup luas.
Terlepas dari pro-kontra yang muncul, semua pihak kini dituntut untuk adaptif. Politisi, penyelenggara pemilu, dan masyarakat sipil harus sama-sama waspada dan kritis dalam mengikuti perubahan ini. Jangan sampai kebijakan yang niatnya baik malah menimbulkan celah penyalahgunaan kekuasaan di lapangan.
Apakah ini solusi untuk memperbaiki sistem pemilu kita, atau justru menimbulkan masalah baru di kemudian hari? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Yang jelas, seperti kata pepatah Sunda: “Leumpang ulah ngadagoan angin, kudu we ngagolakkeun ka hareup.” Sebab demokrasi, sejatinya, bukan hanya soal waktu pencoblosan—tapi tentang seberapa ikhlas kita membangun kepercayaan rakyat.
0Komentar