Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Bogor St. Joseph a Cupertino mengecam keras insiden intoleransi di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat. Sebuah kumpulan massa membubarkan paksa ibadah pada Minggu, 29 Juni, merusak fasilitas dan mencederai rasa aman jemaat. Tindakan ini mencoreng semangat keberagaman kita.
Insiden tersebut viral di media sosial, menunjukkan sekelompok orang menyerbu rumah singgah, membubarkan kegiatan doa, dan merusak peralatan kebaktian. Video amatir menampilkan kekacauan, kursi terbalik, dan sound system hancur. Kejadian ini mempertegas pentingnya penegakan hukum dan perlindungan hak ibadah setiap warga negara.
Bagi PMKRI Bogor, pembubaran paksa itu bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan tamparan bagi wajah toleransi di Indonesia. Menjalankan ibadah adalah hak dasar yang dijamin Pancasila dan UUD 1945. Tiada alasan untuk membungkam suara doa, apalagi melalui intimidasi atau kerusakan properti.
Ketua PMKRI Bogor, Jelsius Nong Osko Mada, menekankan bahwa aksi intimidatif semacam itu tidak dapat ditolerir. “Kita hidup di negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Artinya, negara ini dibangun dengan semangat keberagaman. Kalau ada warga yang sedang berdoa, lalu malah diteror dan tempatnya dirusak itu bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga penghinaan terhadap nilai kemanusiaan,” ujar Jelsius.
Menurut Jelsius, peristiwa serupa seharusnya sudah lama hilang dari kehidupan berbangsa. Masyarakat yang mengaku menjunjung tinggi toleransi wajib mencegahnya. Kerusuhan berbasis agama seperti ini justru membuat keretakan sosial makin luas dan merusak harmoni antarumat beragama.
Sebab isu utamanya soal izin tempat, tetapi PMKRI Bogor menegaskan masalah legalitas bangunan tidak bisa membenarkan kekerasan. “Kalau memang ada persoalan administratif, mari selesaikan dengan mekanisme yang benar. Tapi kalau main hakim sendiri, apalagi sampai merusak dan membawa simbol agama dalam aksi, itu bukan spontanitas itu bentuk kebencian,” tegasnya.
PMKRI Bogor menyoroti lemahnya respons aparat dan pemerintah daerah dalam menangani intoleransi. Kasus seperti ini sering berulang sebelum akhirnya viral, barulah tindakan tegas diambil. Seharusnya negara hadir di lini pertama, bukan sekadar menjadi penonton setelah berita menyebar.
“Kita butuh negara yang berani dan berpihak pada keadilan. Jangan menunggu viral dulu baru bertindak. Ini soal nyawa iman orang-orang yang sedang mencari ketenangan dalam doa,” lanjut Jelsius. Pernyataan ini menggugah kesadaran akan urgensi perlindungan kebebasan beragama.
PMKRI Cabang Bogor menyerukan dialog antarwarga, tokoh agama, aparat keamanan, dan pemerintah daerah. Diskusi konstruktif penting untuk membangun budaya damai dan saling menghormati. Dengan duduk bersama, solusi administratif dan kebijakan preventif dapat dirumuskan lebih cepat dan tepat.
Dalam perspektif teologi Katolik, iman adalah relasi personal dengan Tuhan, bukan objek konflik. Mempolitisasi ibadah atau menggunakan simbol suci untuk provokasi mendegradasi makna spiritual. PMKRI Bogor berdiri di garda depan menegakkan rasa hormat antarumat beragama.
Sebagai mahasiswa Katolik, PMKRI dibekali jiwa kritis dan sikap profetik. Mereka berkewajiban berbicara lantang saat nilai kemanusiaan terancam. Dalam peristiwa Cidahu ini, solidaritas intelektual dan keberanian moral menjadi kunci agar intoleransi tidak dipelihara.
PMKRI Bogor juga mengajak media untuk mengawal kasus ini hingga tuntas. Peliputan berimbang dan investigasi mendalam membantu mengungkap akar masalah, pelaku, dan pola intoleransi yang mungkin terstruktur. Media bertanggung jawab menjaga agar isu semacam ini tidak sekadar menjadi sensasi.
Di ranah hukum, PMKRI Bogor mendesak kepolisian melakukan penyelidikan cepat dan transparan. Para pelaku pembubaran paksa harus diadili sesuai peraturan perundang-undangan. Kejelasan hukum akan menjadi efek jera, mencegah kelompok serupa bertindak serampangan di masa depan.
Pemerintah daerah diharapkan merevisi regulasi izin rumah singgah sebagai tempat ibadah, mempermudah prosedur administratif, dan memastikan tetap sesuai kaidah tata ruang. Kebijakan proaktif ini menjadi langkah preventif menghadapi potensi gesekan sosial.
Tokoh lintas agama diminta menyuarakan perdamaian dan toleransi aktif. Dialog antarumat beragama, forum kerukunan umat beragama, dan program kebersamaan dapat mengikis prasangka sehingga ruang doa makin dihargai. Solidaritas ini penting untuk memupuk kerukunan.
PMKRI Bogor melakukan aksi nyata dengan menggelar diskusi publik, seminar kebangsaan, dan aksi sosial lintas agama. Kegiatan ini dirancang mempererat relasi, membangun pemahaman, serta mempromosikan nilai-nilai inklusif di kalangan muda.
Inisiatif kampus untuk memasukkan materi toleransi dalam kurikulum juga mendapat dukungan PMKRI. Pendidikan karakter dan pemahaman multikulturalisme menjadi landasan mencegah radikalisme dan ekstremisme berbasis agama. Pendidikan toleransi amat krusial.
PMKRI Bogor membuka pintu bagi tiap individu yang tergerak berkontribusi. Baik mahasiswa, pemuda, maupun warga umum bisa bergabung dalam rangkaian program perdamaian. Semakin banyak yang terlibat, semakin kuat bangunan toleransi di tengah masyarakat.
Intoleransi adalah penyakit sosial yang menggerogoti harmoni nasional. PMKRI Bogor menegaskan, toleransi bukan sekadar slogan, melainkan wujud nyata aksi bersama. Jika kebebasan beribadah dijaga, masyarakat akan semakin rukun dan semangat kebangsaan terpelihara.
“Kami percaya, doa seharusnya dilindungi, bukan dibungkam. Jika hari ini pembubaran ibadah dibiarkan, esok yang terancam bisa siapa saja. Maka kami memilih bersuara bukan untuk melawan siapa pun, tapi untuk membela ruang doa yang makin sempit di tengah hiruk-pikuk kebencian.”
Dalam semangat intelektual dan persaudaraan, mari kita tegakkan jaminan kebebasan beribadah bagi semua. Tanpa kekerasan, tanpa diskriminasi, dan dengan saling menghormati, Indonesia akan terus maju sebagai bangsa yang majemuk dan beradab.
0Komentar