TSd7TUO5TfC6BUM8BUr0BSz0
Light Dark
Polresta Bogor Gagalkan Tawuran, 7 Pemuda Bersenjata Tajam Diciduk di Baranangsiang

Polresta Bogor Gagalkan Tawuran, 7 Pemuda Bersenjata Tajam Diciduk di Baranangsiang

Daftar Isi
×


Di tengah keheningan subuh yang biasanya damai, aparat dari Polresta Bogor Kota justru menghadapi ancaman serius yang berpotensi memicu kekacauan antarkelompok remaja. Pada Rabu (2/7/2025) sekitar pukul 04.00 WIB, tujuh pemuda diamankan di kawasan Baranangsiang, Bogor Timur. Mereka kedapatan membawa berbagai jenis senjata tajam yang diduga hendak digunakan dalam aksi tawuran.

Langkah cepat Polresta Bogor Kota ini menjadi bukti nyata keseriusan aparat dalam menjaga ketertiban masyarakat. Kapolresta Bogor Kota, Kombes Pol Eko Prasetyo, menegaskan komitmennya untuk tidak memberi ruang bagi aksi premanisme, terlebih yang mengarah ke kekerasan dan meresahkan warga.

"Saya dengan tegas menyatakan, jajaran Polresta Bogor Kota tidak akan mentolerir segala bentuk aksi premanisme dan tawuran di Kota Bogor. Kami akan menindak semua dengan tegas,” kata Kombes Eko Prasetyo kepada wartawan.

Menurut Kombes Eko, pengawasan dan patroli terus ditingkatkan, terutama di wilayah yang selama ini dikenal rawan bentrok. Ini menjadi bagian dari strategi preventif dalam menjaga harkamtibmas alias keamanan dan ketertiban masyarakat, yang kini jadi prioritas utama pihak kepolisian.

Berdasarkan hasil penyelidikan awal, tujuh pemuda yang diamankan merupakan bagian dari kelompok "Cibadak Neverdie." Mereka disebut hendak memberi dukungan kepada kelompok "Salak Pride" dalam konflik yang tengah memanas dengan kelompok lain, yaitu "Northprize". Situasi ini menunjukkan bahwa solidaritas antar-geng remaja justru makin memperluas potensi kericuhan.

"Alhamdulillah, tim Raimas Presisi Sat Samapta Polresta Bogor Kota berhasil mengamankan pemuda beserta sajam yang diduga akan digunakan untuk aksi tawuran,” ujar Kombes Eko.

Identitas tujuh pemuda tersebut diungkap ke publik dengan inisial MFA, NU, AA alias M, MH, IN alias I, MH, dan MRS. Dari tangan mereka, polisi berhasil menyita beragam senjata tajam yang cukup mengerikan: 6 celurit (4 di antaranya berukuran panjang), 6 golok, 1 stik golf, dan 1 double stick. Senjata-senjata ini tak ubahnya simbol dari niat serius yang bisa mengancam keselamatan banyak orang.

"Kami akan terus melakukan upaya pencegahan dan penindakan, agar Kota Bogor tetap menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi masyarakat,” tegas Kombes Eko.

Tak sekadar bergerak lewat jalur represif, Polresta Bogor juga aktif membangun pendekatan kolaboratif dengan masyarakat. Kesadaran bersama untuk mencegah potensi kekerasan dinilai jadi kunci utama dalam menciptakan lingkungan yang harmonis, terutama di kalangan remaja yang rawan terprovokasi.

"Kami akan terus meningkatkan patroli preventif di wilayah-wilayah rawan bentrokan antar-kelompok remaja,” pungkasnya.

Dalam konteks sosial, fenomena tawuran remaja bukan sekadar soal bentrokan fisik. Ia menyiratkan kompleksitas persoalan identitas, eksistensi, hingga dinamika geng yang kerap kali menjanjikan rasa “kepemilikan” bagi remaja yang mungkin merasa teralienasi di rumah maupun lingkungan sekolah. Karena itu, penanganannya pun tidak cukup hanya lewat pendekatan hukum.

Para sosiolog bahkan menyebut bahwa solusi jangka panjang ada pada pendidikan karakter dan ruang ekspresi kreatif bagi anak muda. Pemerintah kota, sekolah, hingga komunitas lokal perlu turun tangan langsung, memberikan wadah yang lebih sehat untuk menyalurkan energi remaja, alih-alih membiarkannya meledak dalam bentuk kekerasan.

Kejadian di Baranangsiang ini sejatinya jadi alarm bagi semua pihak. Tawuran subuh bukan sekadar kenakalan remaja biasa. Ini adalah bentuk kekerasan terorganisir yang bisa membahayakan nyawa. Maka, solidaritas warga dan sinergi antarlembaga jadi mutlak dibutuhkan agar Kota Bogor tetap aman.

Dalam era digital yang serbacepat, informasi soal konflik antar-kelompok bisa menyebar luas hanya lewat unggahan story atau grup WhatsApp. Ini jadi tantangan tambahan bagi aparat dan masyarakat dalam mendeteksi potensi tawuran sejak dini. Edukasi literasi digital bagi remaja bisa menjadi tambahan strategi preventif.

Penting juga menyoroti bagaimana nama-nama geng seperti “Cibadak Neverdie,” “Salak Pride,” dan “Northprize” justru membentuk identitas lokal baru yang negatif. Daripada terus berkembang dalam arah destruktif, kenapa tidak disalurkan ke ranah kompetisi olahraga atau kegiatan sosial yang lebih membangun?

Kini, setelah aksi tawuran itu berhasil digagalkan, tugas kita belum selesai. Dibutuhkan keberanian kolektif, dari polisi, orang tua, guru, tokoh masyarakat, hingga para pemuda itu sendiri, untuk membalik arah dari budaya kekerasan ke budaya kolaborasi. Karena keamanan bukan cuma tugas aparat—tapi tanggung jawab bersama.

Dan seperti celurit yang disita, marilah kita tumpulkan niat jahat dengan ketajaman empati, agar jalanan kota ini bukan tempat perang, tapi ruang pulang yang tenang.

0Komentar