PT Adhi Karya (Persero) Tbk atau ADHI bersama Kementerian Perhubungan (Kemenhub) serta PT Kereta Api Indonesia (Persero) alias KAI, kini tengah serius mendiskusikan pendanaan pembangunan Light Rail Transit (LRT) tahap II rute Cibubur-Bogor. Proyek ini masih dalam payung hukum Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2015 tentang pembangunan LRT Jabodebek.
Direktur Utama ADHI, Entus Asnawi, menyebut pihaknya tak menutup pintu bagi pihak swasta yang berminat ikut serta. Menurutnya, opsi pendanaan alternatif perlu diperhitungkan, mengingat pembangunan tahap kedua menuntut skema pembiayaan lebih inovatif. Diskusi intensif dengan Dirjen Perkeretaapian Kemenhub serta KAI pun sudah berjalan untuk meramu strategi terbaik.
"Karena ini adalah Perpres, kemudian kami juga sudah mendiskusikan dengan Dirjen Perkeretaapian tentang ini, dan kami bersama-sama sedang mencari bagaimana solusi pendanaan untuk pembangunan tahap yang kedua ini. Bagaimana lebih banyak melibatkan misalnya dana-dana di luar pemerintah untuk bekerjasama dengan KAI," ungkap Entus dalam acara Public Expose Live secara virtual, Senin (8/9/2025).
Sejarah dan Skala Proyek LRT Jabodebek
Dalam Perpres yang menjadi dasar hukum, ADHI ditunjuk langsung sebagai pelaksana pembangunan LRT Jabodebek dalam dua tahap besar. Tahap pertama kini sudah terealisasi dan beroperasi sepanjang 44 kilometer. Jalurnya membentang dari Cawang-Cibubur, Cawang-Dukuh Atas, hingga Cawang-Bekasi Timur, melayani ribuan penumpang setiap hari.
Perpres tersebut juga mengatur nilai investasi proyek sebesar Rp 25,5 triliun. Namun kenyataannya, ADHI baru menerima Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp 23,3 triliun. Artinya, untuk tahap pertama saja, pemerintah masih menanggung tunggakan sebesar Rp 2,2 triliun kepada ADHI. Kekurangan ini jelas menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dibereskan.
Entus tak menutup-nutupi adanya gap pendanaan yang terjadi sejak awal. "Tahap pertama 44 kilo untuk yang sudah kita bangun dan sudah beroperasi saat ini. Pada saat itu memang nilainya juga sebesar Rp 23,3 triliun, tapi pada saat itu pun masih kekurangan dananya," jelasnya dengan lugas.
Fokus Penyelesaian Piutang dan Rencana Strategis
Direktur Keuangan ADHI, Bani Iqbal, mengakui tantangan besar perusahaan terletak pada penyelesaian piutang yang mayoritas berasal dari proyek LRT. Ia memastikan manajemen berkomitmen menuntaskan persoalan ini dalam waktu dekat, sebab kelancaran cash flow menjadi kunci untuk melangkah ke tahap pembangunan berikutnya.
"Di sisi piutang di mana piutang-piutang yang ada ini pada saat ini terbesar itu adalah piutang dari LRT yang sampai saat ini masih dalam proses diskusi dengan KAI, Kemenkeu, dan juga Danantara untuk penyelesaiannya yang akan dilaksanakan lebih kurang secepat-cepatnya akhir tahun ini," ujar Bani.
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya optimisme bahwa sebelum tahun berganti, persoalan keuangan yang menghambat bisa segera terselesaikan. Apalagi dengan adanya dukungan koordinasi bersama Kementerian Keuangan, Dirjen Perkeretaapian, hingga lembaga pembiayaan lain, peluang penyelesaian terbilang cukup realistis.
Proyek LRT Jabodebek bukan hanya soal infrastruktur fisik semata, melainkan juga menjadi simbol transformasi transportasi publik di kawasan megapolitan Jabodetabek. Keberhasilan tahap pertama membawa ekspektasi lebih tinggi terhadap kelanjutan pembangunan. Wajar jika pembiayaan tahap kedua menarik perhatian publik, mengingat Bogor termasuk kawasan dengan arus komuter sangat padat.
Di sisi lain, keterlibatan swasta dalam pendanaan LRT tahap II bisa membuka babak baru kolaborasi antara pemerintah dan sektor bisnis. Skema investasi kreatif akan meringankan beban APBN sekaligus mempercepat realisasi proyek. Model ini juga bisa menjadi referensi bagi pembangunan transportasi massal lain di Indonesia.
ADHI bersama KAI dan Kemenhub menyadari bahwa tanpa dukungan finansial yang solid, target besar ini akan sulit tercapai. Karena itu, pertemuan intensif untuk mencari solusi pendanaan dianggap sebagai langkah strategis. Tak hanya soal hitungan angka, melainkan juga komitmen bersama membangun ekosistem transportasi lebih modern.
Dalam konteks masyarakat urban, hadirnya LRT tahap II Cibubur-Bogor jelas akan memberi dampak luas. Mobilitas warga dari dan menuju Bogor bisa lebih efisien, mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, serta menekan polusi udara. Manfaat ini tak hanya dirasakan individu, tapi juga mendukung agenda lingkungan berkelanjutan.
Proyek ini pun sekaligus membuka peluang kerja baru, baik di fase konstruksi maupun operasional nantinya. Efek domino dari proyek raksasa seperti ini tak bisa dianggap kecil, mulai dari tumbuhnya sektor properti di sekitar jalur hingga peningkatan daya saing ekonomi lokal. Semua itu memperlihatkan betapa pentingnya kepastian pendanaan.
Seiring waktu, publik tentu menantikan kabar baik terkait kelanjutan proyek. Harapannya, akhir tahun ini menjadi titik terang penyelesaian piutang dan awal babak baru pembangunan tahap kedua. Jika berhasil, sinyal positif ini akan meningkatkan kepercayaan investor swasta yang sejak awal masih menimbang langkah.
Keberanian ADHI membuka diri pada skema pendanaan non-pemerintah bisa menjadi momentum perubahan. Dengan strategi kolaborasi cerdas, proyek ini tak sekadar melanjutkan pembangunan jalur, melainkan juga membangun optimisme kolektif. Dan jika semua berjalan lancar, LRT tahap II bisa menjadi bukti nyata gotong royong modern di era infrastruktur.
Akhirnya, publik tinggal menunggu, apakah strategi pembiayaan lintas sektor ini bisa benar-benar diwujudkan. Bila berhasil, bukan hanya Bogor yang diuntungkan, tapi juga wajah transportasi massal Indonesia akan berubah lebih elegan. Dan seperti jalur rel yang terus memanjang, harapan masyarakat pun ikut melaju tanpa henti.

0Komentar