Jumlah penumpang KRL dari Bogor menuju Manggarai hingga Stasiun Jakarta Kota pada Senin (1/9) benar-benar berbeda dari biasanya. Jika di hari kerja normal kondisi gerbong terasa sesak sejak pagi, kali ini suasana lebih longgar. Banyak kursi kosong terlihat, meskipun tetap ada penumpang yang berdiri.
Fenomena ini mencuri perhatian karena Senin pagi biasanya identik dengan antrean panjang dan desakan penumpang di tiap peron. Pukul 08.00 WIB biasanya sudah mencapai titik padat, tetapi kali ini lebih lengang dari biasanya. Situasi ini membuat sebagian penumpang merasakan pengalaman baru yang jarang terjadi di jalur sibuk Bogor–Jakarta.
Imbauan WFH Jadi Faktor Utama
Pantauan awak media memperlihatkan bahwa perjalanan KRL Bogor–Jakarta Kota tetap berjalan sesuai jadwal. Tidak ada keterlambatan, tak juga penundaan keberangkatan. Artinya, kelancaran operasional masih terjaga meski jumlah penumpang menurun drastis. Hal ini menunjukkan bahwa faktor eksternal lebih dominan memengaruhi penurunan kepadatan.
Salah satu faktor utamanya adalah imbauan Work From Home (WFH) dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kepala Disnakertransgi DKI Jakarta, Syaripudin, menegaskan, “Surat imbauan untuk WFH telah disebarkan sejak Jumat lalu. Perusahaan diberi fleksibilitas untuk menyesuaikan kebijakan sesuai kebutuhan operasional masing-masing.”
Kebijakan ini nyatanya langsung berdampak pada arus transportasi pagi. Perusahaan yang menindaklanjuti imbauan memberi kesempatan karyawannya bekerja dari rumah, sehingga mobilitas pekerja menuju Jakarta otomatis berkurang. Tidak heran, jalur transportasi massal seperti KRL terlihat lebih longgar dari biasanya.
Efek Unjuk Rasa ke Kebijakan Transportasi
Syaripudin juga menambahkan bahwa imbauan ini lebih difokuskan kepada perusahaan yang berada di wilayah dekat titik-titik unjuk rasa. “Namun, seiring meluasnya aksi, kebijakan WFH bisa diambil lebih banyak perusahaan sebagai bentuk antisipasi,” jelasnya. Dengan demikian, kebijakan ini bukan sekadar teknis, melainkan juga strategi pencegahan.
Efek unjuk rasa memang selalu merembet ke berbagai sektor, termasuk transportasi publik. Ketika sebagian ruas jalan di ibu kota berpotensi macet karena konsentrasi massa, opsi WFH menjadi solusi agar produktivitas kerja tetap berjalan. Di sisi lain, penumpang KRL bisa menikmati perjalanan lebih nyaman tanpa desakan berlebihan.
Pengalaman seperti ini menjadi bukti bahwa pola transportasi di Jabodetabek sangat dinamis. Hari biasa bisa macet dan penuh sesak, tapi satu kebijakan saja bisa mengubah peta mobilitas ribuan orang. Penumpang yang biasanya harus berdesakan, hari ini bisa bernapas lega, bahkan ada yang bisa duduk santai sepanjang perjalanan.
Respon Penumpang KRL
Beberapa penumpang yang masih tetap berangkat kerja mengaku cukup terkejut dengan kondisi ini. Bagi mereka, perjalanan yang lebih lengang terasa menyenangkan meski sedikit aneh karena tidak sesuai dengan rutinitas yang biasanya padat. Banyak yang membandingkan dengan suasana Senin pagi normal yang identik dengan "rush hour".
Seorang penumpang bernama Andi mengatakan, “Biasanya jam segini saya sudah berdiri mepet pintu karena tidak ada kursi kosong. Tapi hari ini malah bisa duduk nyaman. Rasanya seperti bukan Senin.” Testimoni ini menggambarkan betapa signifikan dampak imbauan WFH terhadap mobilitas masyarakat.
Meski begitu, ada pula yang tetap memilih berangkat lebih pagi untuk berjaga-jaga. Faktor kebiasaan membuat sebagian penumpang merasa lebih aman tetap mengikuti jadwal rutin mereka. Namun, dengan kondisi KRL lebih sepi, perjalanan kali ini jelas berbeda dan lebih manusiawi untuk sebagian besar pengguna transportasi massal.
WFH dan Dampak Jangka Panjang
Imbauan WFH ini juga membuka ruang diskusi mengenai efektivitas kebijakan kerja fleksibel di Jakarta. Selain mengurangi kemacetan dan kepadatan transportasi, kebijakan semacam ini dapat menekan tingkat polusi udara. Jakarta yang selama ini dikenal padat bisa sesekali bernapas lebih lega berkat pengurangan mobilitas harian.
Dari sisi pekerja, kebijakan WFH memberi keuntungan berupa waktu perjalanan yang bisa dialokasikan untuk hal lain. Tidak hanya soal efisiensi, tetapi juga terkait kualitas hidup yang lebih baik. Bagi sebagian perusahaan, meski ada tantangan teknis, fleksibilitas semacam ini bisa meningkatkan loyalitas karyawan.
Jika tren ini diperluas, bisa jadi transportasi publik seperti KRL akan lebih nyaman secara berkala. Walau tentu tidak setiap hari, setidaknya ada momen-momen ketika perjalanan terasa lebih bersahabat. Fenomena ini menjadi pembelajaran penting untuk merancang transportasi dan pola kerja lebih adaptif di masa depan.
Kondisi lengang pada KRL rute Bogor–Jakarta Senin (1/9) menjadi bukti nyata bahwa kebijakan pemerintah daerah bisa langsung memengaruhi pola mobilitas masyarakat. Imbauan WFH berhasil menekan jumlah penumpang, memberi kenyamanan baru di jalur yang biasanya penuh sesak.
Bagi sebagian penumpang, momen ini seperti hadiah tak terduga di awal pekan. Namun, di balik kenyamanan tersebut, ada pesan kuat bahwa fleksibilitas kerja dan kebijakan transportasi harus saling mendukung. Pada akhirnya, lengangnya KRL hari ini bukan sekadar kebetulan, melainkan sebuah “ironi manis” tentang kota besar yang selalu dinamis.

0Komentar