TSd7TUO5TfC6BUM8BUr0BSz0
Light Dark
Hidup di Kandang Bambu: Kisah Pilu Santamah, ODGJ di Tenjo yang Butuh Uluran Tangan

Hidup di Kandang Bambu: Kisah Pilu Santamah, ODGJ di Tenjo yang Butuh Uluran Tangan

Daftar Isi
×


Di sebuah sudut Kampung Hajere, Desa Tapos, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor, kisah memilukan datang dari kehidupan sederhana keluarga Rasmah. Putrinya, Santamah (30), seorang perempuan dengan gangguan kejiwaan (ODGJ), terpaksa tinggal di kandang bambu selama empat tahun terakhir karena keterbatasan ekonomi keluarga.

Pemandangan itu bikin hati ngahuleng — terdiam pilu. Di balik bilik bambu sederhana, Santamah hidup dalam keterasingan, bukan karena keinginan, tapi karena keadaan. Ibunya, Rasmah, menuturkan bahwa sang anak sudah mengalami gangguan kejiwaan sejak masih kecil dan sempat membaik setelah menikah.

Perjuangan Seorang Ibu di Tengah Keterbatasan

“Sudah sejak kecil, sejak nikah mulai berangsur membaik, tapi lama-lama kambuh lagi dan malah makin parah,” ujar Rasmah, dikutip dari iNews Bogor, Senin (20/10/2025). Ia bercerita dengan suara lirih, penuh kelelahan namun tetap menyimpan harapan.

Gangguan itu membuat Santamah sering bersikap agresif dan bahkan melukai warga sekitar. Demi keselamatan bersama, sang ibu terpaksa mengurung anaknya dalam kandang kecil dari bilik bambu. Keputusan itu bukan tanpa air mata, karena Rasmah tahu betul betapa pedihnya melihat darah dagingnya hidup terkungkung.

“Saya tidak tega, tapi mau gimana lagi. Santamah pernah dirawat di RS Marzuki Mahdi Bogor selama 13 hari, tapi kami nggak sanggup lanjut karena biaya,” ungkapnya. Kalimat itu menggema seperti jeritan yang tertahan di antara sunyi perkampungan.

Rumah Tak Layak, Hidup Serba Pas-pasan

Keluarga Rasmah hidup dalam kondisi serba terbatas. Rumah mereka jauh dari kata layak huni — dinding kayu sudah lapuk, lantai tanah becek, dan atap bocor ketika hujan turun. Penghasilan harian pun pas-pasan, hanya cukup untuk makan seadanya. Dalam kondisi seperti itu, membiayai pengobatan jiwa tentu terasa mustahil.

Namun, di balik segala kesulitan, kasih seorang ibu tak pernah padam. Rasmah tetap merawat Santamah dengan penuh kasih, memberi makan, membersihkan kandang, dan sesekali berbicara meski tak selalu mendapat respon. “Kami cuma ingin Santamah bisa sembuh dan hidup normal lagi. Saya berharap ada bantuan dari pemerintah,” ucapnya dengan nada penuh harap.

Cerita ini bukan sekadar kabar duka dari pelosok Bogor, tapi juga potret nyata betapa persoalan kesehatan jiwa masih kerap luput dari perhatian. Banyak keluarga miskin terpaksa menghadapi situasi yang sama — di antara rasa cinta, keputusasaan, dan keterbatasan ekonomi.

Di tengah hiruk pikuk kota yang sibuk, kisah seperti Santamah seolah tenggelam dalam senyap. Tapi bagi mereka yang melihat langsung, realita ini menampar nurani: masih ada warga yang harus hidup di kandang karena kemiskinan dan ketidakadilan sistem. Nyaah pisan, sungguh menyayat hati.

Semoga kisah Santamah menggugah banyak pihak untuk peduli. Karena pada akhirnya, derita satu keluarga kecil di Tenjo adalah cermin besar dari wajah kemanusiaan kita bersama. Dan siapa tahu, dari kandang bambu itu, harapan baru bisa tumbuh — pelan, tapi pasti, menuju kehidupan yang lebih manusiawi.

0Komentar