Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat (Kemenkum Jabar) kembali tancap gas. Lewat Rapat Harmonisasi yang digelar Kamis (6/11/2025) secara daring di Bandung, lembaga ini membedah lima Rancangan Peraturan Wali Kota (Raperwal) Bogor bersama berbagai instansi terkait. Nuansanya serius tapi akrab, penuh diskusi produktif.
Pertemuan ini menghadirkan Tim Kelompok Kerja (Pokja) Harmonisasi 2 Kanwil Kemenkum Jabar serta perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, dan Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Bogor. Mereka hadir untuk menyamakan visi soal arah kebijakan hukum daerah agar gak “leupas tina tali”—tidak keluar jalur aturan yang lebih tinggi.
Dorongan Harmonisasi demi Regulasi Efektif
Kegiatan ini jadi implementasi nyata dari amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kepala Kantor Wilayah Kemenkum Jabar, Asep Sutandar, lewat Tim Pokja Harmonisasi 2, menegaskan komitmennya untuk memastikan setiap produk hukum daerah tetap harmonis, tanpa tumpang tindih, dan berdaya guna bagi masyarakat.
“Dukungan harmonisasi ini krusial untuk mempercepat proses legislasi di daerah agar tepat sasaran dan berdaya guna,” tegasnya. Komitmen ini, kata Asep, penting agar setiap aturan baru tidak hanya formalitas, tapi benar-benar menyentuh kebutuhan publik dan sejalan dengan kebijakan nasional.
Dalam rapat tersebut, Kemenkum Jabar menyorot lima Raperwal strategis: Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Rencana Aksi Daerah Percepatan Eliminasi Tuberkulosis 2025–2029, dan Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Daerah. Dua lainnya membahas Pedoman Seleksi dan Pemberian Beasiswa bagi Peserta Didik SMP Swasta serta Penyelenggaraan Bale Badami—ruang mediasi khas Bogor yang kini diatur lebih formal.
Lima Raperwal Disorot, Detail Teknis Jadi Fokus
Tim Pokja Harmonisasi 2 memberikan sejumlah catatan penting untuk penyempurnaan. Misalnya, pada Raperwal Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, dibahas tentang perlunya kejelasan definisi “Pekerja Rentan” dan kewenangan pengawasan di lapangan. Isu ini dianggap krusial karena menyangkut kelompok masyarakat yang paling butuh perlindungan hukum dan sosial.
Sementara itu, dalam Raperwal Eliminasi Tuberkulosis, tim menekankan pentingnya sinkronisasi antara kegiatan utama di batang tubuh peraturan dengan lampiran teknisnya. Menurut mereka, tanpa konsistensi itu, implementasi di lapangan bisa “ngahaja kabur”—tidak fokus dan sulit dipantau.
Khusus Raperwal Jaminan Kesehatan Daerah, Kemenkum Jabar mendorong agar nomenklatur dan mekanismenya selaras penuh dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS. Tujuannya agar tidak terjadi duplikasi manfaat, dan masyarakat dapat pelayanan yang lebih efisien serta transparan.
Catatan unik juga muncul pada Raperwal Bale Badami, di mana tim mengingatkan agar isi peraturan tidak melebihi kewenangan yang didelegasikan oleh Peraturan Daerah (Perda) induknya, yakni Perda Nomor 1 Tahun 2024. Intinya, Bale Badami boleh jadi ruang mediasi sosial yang kreatif, tapi tetap harus “nurutan kana aturan”—patuh pada hukum yang lebih tinggi.
Rapat harmonisasi ini bukan sekadar formalitas birokrasi. Tujuan akhirnya adalah mencapai kesepakatan teknis dan substansi antarlembaga. Setelah semua masukan dan perbaikan tuntas, Kemenkum Jabar akan menerbitkan surat penyelesaian agar kelima Raperwal tersebut bisa segera melaju ke tahap pengundangan oleh Pemerintah Kota Bogor.
Lewat proses ini, Kemenkum Jabar berharap Kota Bogor punya landasan hukum yang lebih tertata dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakatnya. Karena, seperti kata pepatah Sunda, “leuleus jeujeur, liat tali”—aturan boleh lentur mengikuti zaman, tapi tetap kuat menjaga arah. Itulah harmoni sejati dalam kebijakan publik yang berkeadilan.
Dengan harmonisasi yang matang, Bogor bukan hanya menyusun aturan, tapi juga merangkai visi. Di balik setiap pasal dan ayat, tersimpan semangat kolaborasi yang, ibarat gamelan Sunda, berpadu ritmis antara logika, empati, dan tatanan hukum yang selaras.

0Komentar