Mendikbud Kaji Penghapusan UN, Perlu Dipikirkan Penggantinya







Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sedang mengkaji penghapusan ujian nasional (UN).

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim engatakan, pihaknya sedang mengkaji penghapusan UN. Namun, ia belum menjelaskan lebih jauh hasil kajian tersebut.

“Itu (penghapusan UN) yang sedang kami kaji. Ditunggu kabarnya,” ujat Nadiem, Kamis (28/11/2019).

Selain itu, Nadiem mengatakan Kemendikbud saat ini tengah berupaya menciptakan kesinambungan antara sistem pendidikan dan dunia industri. Salah satu caranya adalah deregulasi dan debirokratisasi.

“Juga arahan Pak Presiden untuk menciptakan link and match antara sistem pendidikan kita dan apa yang dibutuhkan di dunia industri dan lain-lain. Untuk mencapai itu, ada beberapa hal yang satunya adalah deregulasi dan debirokratisasi dari semua instansi unit pendidikan. Makanya platformnya yang kami sebutkan itu merdeka belajar,” kata dia.

Nadiem mengatakan pihaknya juga akan melakukan penyederhanaan kurikulum. Serta lebih mengutamakan kompetensi daripada sekadar menghafal.

“Dari situ harus adanya penyederhanaan dari sisi kurikulum maupun asesmen agar beralih kepada yang sifatnya yang lebih kompetensi dan bukan saja menghafal informasi. Itu suatu perubahan yang akan kita terapkan dan kita sempurnakan,” ujarnya.

Nadiem menyebut kualitas sumber daya manusia (SDM) pengajar atau guru juga perlu ditingkatkan. Peningkatan itu akan dilakukan di semua jenjang pendidikan.

“Tentunya yang terpenting adalah kualitas daripada SDM pendidik baik di vokasi maupun di unit pendidik dalam SMA, SMP, SD. Semua itu mengarah pada pelatihan peningkatan dan penyederhanaan hidup seorang pendidik,” tuturnya.

Sementara itu rencana penghapusan UN mengundang berbagai reaksi masyarakat. Selama ini, UN dinilai memberatkan siswa hingga pemborosan.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi mengungkapkan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim perlu memikirkan pengganti UN. Apakah nantinya akan dikembalikan pada nilai murni atau pada tingkat provinsi.

Namun, kata dia, perlu diadakannya perbaikan peraturan yang mengikat sistem proses belajar. Dede mengatakan, saat ini UN kerap dijadikan proyek nasional hanya untuk memaksimalkan angka kelulusan.

Dede menilai, UN tak membuat cerdas sebab anak hanya sekadar menghafal materi pelajaran. Sedangkan, menurutnya, yang dibutuhkan adalah pemahaman atas pertanyaan yang diberikan.

Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Bogor, Abidin Said mengungkapkan, harus dilihat terlebih dahulu indikator pastinya.

Ia menjelaskan, pada pendidikan dasar seperti SD dan SMP, ujian tidak begitu diperlukan meskipun harus ada sertifikasi yang menunjukan kualitas lulusan yang baik.

“Ketika sudah masuk lanjutan ke tingkat SMA juga perlu ada sertifikat, bahwa yang bersangkutan telah menamatkan pendidikan. Apakah prosesnya melalui sertifikasi bentuk lain yang tidak perlu seragam secara nasional. Jadi kewenangannya diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah,” kata Abidin pada Radar Bogor kemarin.

Sehingga, sambung dia, persoalan mengantarkan para lulusan selesai pendidikan jadi persoalan yang merepotkan bagi lulusan SMA atau sederajat. Bisa saja, kewenangan diserahkan kepada pemerintah provinsi.

“Yang menjadi dilema ketika saat lulusan SMA ingin melanjutkan pada perguruan tinggi. Walaupun sekarang perguruan tinggi sudah mulai mengabaikan ijazah atau sertifikat ujian karena beberapa perguruan sudah menerima lulusan SMA dengan sistem jalur undangan, walaupun dia belum lulus ujian. Nah kalau itu bisa diterapkan, kerepotan Nasional tidak akan terjadi,” sambungnya.

Sekretaris Dewan Pendidikan (Wandik) Kota Bogor, Agus Lukman berpendapat, ada kebijakan yang bertabrakan jika UN dihapuskan.

Menurutnya, UN menghasilkan NEM. Di sisi lain, kata dia, NEM tidak terpakai penuh oleh sistem penerimaan murid baru, lantaran PPDB kini menggunakan sistem zonasi.

“NEM itu kan hanya digunakan 5-10 persen. Sedangkan zonasi itu yang utama jarak, seharusnya salah satunya ditiadakan. UN atau sistem zonasi tadi, karena saling bertabrakan,” urainya.

Sebab, kata Agus, NEM sebesar apapun tidak akan berpengaruh. “Kalau mau dihapus itu, artinya kan zonasi murni semua. Kemudian karena tidak menghasilkan NEM, membuat siswa tidak lagi fight dengan keras untuk mendapatkan nilai yang bagus. Karena ada zonasi tadi, ini menurut saya timpang tindih kebijakannya,” katanya.

Dikatakan Agus, kurikulum yang ada kini tidak hanya memberatkan bagi siswa, namun juga guru. Guru kini diberatkan oleh administrasi yang rumit, sehingga tidak bisa fokus untuk belajar. Kemudian siswa, dengan kurikulum yang ada kini, tidak bisa berinovasi karena kurikulum yang ada sifatnya baku.

Sementara itu, sejumlah tenaga pendidik merespon positif rencana penghapusan UN. Khususnya, di Kota Bogor. Musababnya, UN tak bisa menjadi indikator kelulusan siswa yang telah melewati proses belajar bertahun-tahun.

“Kami mendukung sekali tanpa UN, karena hasil belajar bukan dilihat dari UN saja, harusnya proses yang lebih dihargai,” ujar Manager Program SD Sekolah Alam Algiva, Desha Aestetika kepada Radar Bogor.

Menurut dia, ada hal lain yang bisa menggantikan UN untuk menentukan kelulusan siswa. Yakni, portofolio mereka yang mengarah pada minat dan bakat siswa. Sehingga, dapat diketahui sejauh mana kemampuan siswa.

Menanggapi rencana perubahan kurikulum, menurut Desha, akan sedikit memberatkan sekolah-sekolah di wilayah. Akan tetapi, dia berharap hal itu dapat benar-benar terwujud di samping sekolah bisa berdiri sendiri mencerdaskan siswa.

“Memang nanti menteri yang baru ini bisa kasih terobosan, mau menghapus yang jelimet jelimet gitu, semoga berhasil ya tidak seperti sekarang,” pungkasnya. (dka/wil/gal)-BOGOR – RADAR BOGOR.

Sumber: radarbogor.id

0 Komentar