Kabar mengejutkan kembali berembus dari dunia pengadaan publik di Kabupaten Bogor. Kali ini, Proyek Pneumatic Tube System (PTS) di RSUD Leuwiliang tengah jadi sorotan karena diduga menyimpan banyak kejanggalan. Informasi yang beredar di kalangan wartawan menyebutkan bahwa Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Bogor bakal memanggil dua perusahaan—CV LiJ dan PT KAS—untuk diperiksa terkait proyek senilai miliaran rupiah itu.
“Data dari BPK dan laporan dari masyarakat terkait proyek PTS RSUD Leuwiliang. Kita akan memeriksa CV LiJ dan PT KAS,” ujar seorang sumber di Kejari Kabupaten Bogor yang enggan disebutkan namanya, Kamis (19/6/2025).
Langkah hukum ini disebut-sebut menjadi respons cepat atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan desakan publik. Pemeriksaan ini bukan hanya sekadar klarifikasi biasa, tetapi diduga kuat berkaitan dengan dugaan pelanggaran dalam proses pengadaan. Masyarakat pun berharap kasus ini tak selesai di tengah jalan, karena menyangkut anggaran publik dan mutu layanan rumah sakit daerah.
Sumber dari Kejari menambahkan bahwa pemeriksaan tidak hanya menyasar level staf biasa. “Nantinya Direktur yang akan diperiksa. Dan data-data dari audit BPK akan kita cross check,” tambahnya.
Pemeriksaan terhadap direktur kedua perusahaan ini jadi babak baru dari panjangnya daftar kasus pengadaan barang dan jasa yang berujung di meja hijau. Yang menarik, proyek ini sudah menyedot anggaran sekitar Rp3,5 miliar. Tapi, apakah hasilnya sepadan?
Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, dalam keterangannya menegaskan bahwa temuan BPK bukan perkara teknis semata. Ia menyebut ada indikasi pelanggaran prinsip pengadaan barang/jasa yang bisa menyeret pihak-pihak terkait ke ranah hukum.
“Ini bukan soal salah hitung atau kelalaian teknis. Kalau negara sudah keluar uang Rp3,5 miliar tapi ratusan item alat tidak terpasang, maka ini masuk ranah dugaan kerugian negara. APH wajib turun memeriksa semua pihak yang terlibat, dari penyedia sampai penanggung jawab anggaran,” ujarnya, Selasa (17/6/25).
Menurut laporan BPK, pengadaan PTS RSUD Leuwiliang dilakukan melalui e-katalog, dengan CV LiJ sebagai penyedia barang. Namun, status CV LiJ ini ternyata bukan distributor resmi. Ia hanya bertindak sebagai subdistributor dari PT KAS, perusahaan yang memegang lisensi resmi merek Sumetzberger. Yang lebih mencengangkan, CV LiJ disebut tak memiliki dokumen legalisasi distributor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan.
Temuan ini tentu memunculkan pertanyaan besar soal proses verifikasi dan perencanaan proyek di lingkup Pemerintah Kabupaten Bogor. Apakah proses seleksi penyedia barang cukup ketat? Atau justru longgar dan sarat kepentingan? Dalam kasus ini, perencanaan dan pengawasan dari awal proyek juga dinilai sangat lemah.
BPK menyoroti minimnya justifikasi teknis dalam pemilihan merek, proses pengumpulan harga yang tidak akurat, dan ketiadaan rincian harga satuan resmi. Imbasnya, ditemukan kekurangan volume sebesar Rp777.976.800 untuk 222 unit komponen yang tidak terpasang, meski pembayaran telah dilakukan penuh oleh RSUD Leuwiliang.
Jika dilihat dari sisi prosedural, proyek ini sudah jelas menabrak sejumlah aturan. Bahkan nilai kerugian negara hampir mendekati Rp800 juta. CBA menilai ini sebagai pelanggaran serius yang tak bisa hanya ditangani oleh inspektorat atau sekadar permintaan maaf. Harus ada proses hukum yang berjalan dengan transparan dan adil.
“Jika tidak ada tindakan hukum, ini jadi preseden buruk bagi dunia pengadaan barang publik, terutama sektor kesehatan. Negara bisa rugi terus-menerus karena pengawasan longgar, apalagi jika pemain-pemain rente tetap dibiarkan berkeliaran,” tegas Uchok.
Sampai berita ini ditulis, belum ada keterangan resmi dari CV LiJ maupun PT KAS. Redaksi masih terus berupaya melakukan konfirmasi kepada dua pihak tersebut agar pemberitaan ini berimbang dan tidak berat sebelah. Namun diamnya kedua perusahaan ini justru menambah tanda tanya besar di mata publik.
Sementara itu, masyarakat Kabupaten Bogor berharap agar penegak hukum tidak ragu menindak tegas jika terbukti ada pelanggaran dalam proyek ini. Jangan sampai anggaran miliaran rupiah yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan pelayanan rumah sakit malah terbuang percuma akibat ulah segelintir oknum.
Sebagai catatan, Pneumatic Tube System sebenarnya merupakan sistem modern yang dirancang untuk mempercepat distribusi barang dan dokumen di lingkungan rumah sakit. Jika sistem ini tidak dipasang sesuai volume dan spesifikasi, maka fungsinya otomatis tidak optimal. Ini berarti masyarakat yang paling dirugikan karena pelayanan rumah sakit menjadi tidak maksimal.
Lebih luas lagi, persoalan ini mencerminkan rapuhnya sistem pengadaan barang publik di daerah. Banyak proyek yang berjalan tanpa pengawasan ketat, bahkan cenderung asal-asalan. Lemahnya sistem verifikasi penyedia, ketidakjelasan dokumen pendukung, hingga lemahnya perencanaan teknis, semuanya jadi benang kusut yang harus diurai bersama.
Salah satu solusi konkret yang bisa dilakukan ke depan adalah penguatan fungsi pengawasan internal dan audit independen sejak awal proses pengadaan. Selain itu, pelibatan masyarakat sipil dan media dalam proses monitoring bisa menjadi pengawas informal yang cukup efektif dalam mencegah praktik-praktik curang seperti ini.
Meski terlihat teknis, kasus pengadaan PTS ini punya efek domino besar terhadap kepercayaan publik. Bila dibiarkan tanpa kejelasan penanganan, bukan tidak mungkin publik makin skeptis terhadap integritas aparatur dan lembaga pengawas. Itulah mengapa langkah Kejari Bogor dalam menindaklanjuti laporan ini patut diapresiasi, selama tetap berjalan sesuai hukum dan tidak tebang pilih.
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa transparansi dan akuntabilitas adalah dua fondasi penting dalam tata kelola proyek publik. Proyek PTS RSUD Leuwiliang bukan hanya soal alat yang tidak terpasang, tapi juga menyangkut etika, profesionalisme, dan keberpihakan terhadap kepentingan rakyat. Jika kesalahan ditemukan, penindakan tegas adalah langkah satu-satunya demi menjaga kepercayaan publik dan menjamin uang rakyat tidak sia-sia.
0Komentar